Sisa-sisa getaran semalam masih saja betah merayu hati untuk terpesona. Langit mendung pun mendadak terasa cerah. Kicau burung mengiringi senandung lagu dalam jiwa. Membawa pada titik sebuah perasaan yang belum pernah hinggap sebelumnya.
Senyum Kavi yang berkelebat tidak bisa diusir. Terus menggantungi hari. Padahal sudah sepanjang malam memenuhi pikiran. Hingga membuat mata enggan terlelap. Takut jika tidak bisa memimpikan.
"Woi!" kejut Moira.
Rupanya perempuan itu sudah hampir dua menit berbicara dengan angin. Karena yang diajak mengobrol asyik menikmati keindahan senyuman Kavi yang tidak memudar sedikit pun dalam benak.
Nola tersentak. Buru-buru mengiyakan, entah untuk kalimat yang mana. Dan tentu saja Moira menolak kata iya itu.
"Kavi, ya?" Tebakan Moira tepat mengenai sasaran.
Membuat jantung kembali berdegup kencang hanya karena mendengar nama Kavi disebut. Untuk menggerakkan bibir pun terasa sulit, dan untuk menggeleng juga rasanya leher terlalu kaku.
Beberapa kali menyematkan anak rambut ke belakang telinga. Menduduki jemari di sisi paha dan kaki mulai tidak bisa berhenti bergoyang. Nola lantas berdiri. Memandang ujung pohon di belakang Moira, "Pohonnya bagus, ya."
Moira menoleh, ikut memerhatikan ujung pohon yang hampir sulit dijangkau mata kalau tidak mendongak. Hanya sebentar, dan memandang Nola lebih lama, "Jiwamu aman, kan?"
Duh! Nola!
Gadis itu mengangguk-angguk seperti ayam mematuk beras. Kembali duduk, kali ini mencoba menyilangkan kaki dan bersandar. Deru jantung masih belum normal, ditambah harus melihat mobil Kavi memasuki kampus. Telapak kaki serasa tidak menapak tanah.
Tanpa Nola tahu, Moira pun sedang memandang mobil Kavi. Mobil yang pernah menemani untuk beberapa waktu lamanya.
Ketika Moira menarik untuk ke kantin, Nola yang merasa sedang mengambang itu pun terjatuh. Namun, segera bangkit dan menyalahkan rumput yang licin. Lalu berjalan cepat mendahului Moira seraya membersihkan kemeja dan celana jin yang sedikit kotor.
"Kenapa sih tu anak?" gumam Moira yang masih mematung keheranan dengan kedua tangan yang mengacak pinggang.
Di kantin, lagi-lagi hanya meja mereka yang sunyi tanpa suara, selain suara denting sendok bertemu piring. Nola sibuk mengunyah nasi bakar. Sedang Moira asyik menyantap risoles mayo sambil bermain gawai.
Seperti air di laut, ada saatnya pasang dan ada pula saatnya surut. Begitulah yang terjadi dengan dunia pergibahan kampus. Yang kali ini sedang mengalami surut. Sudah beberapa hari belakangan Nola tidak lagi diterpa badai pergibahan itu.
Tiba-tiba Moira kembali menyinggung soal Kavi. Membuat Nola tersedak nasi yang sudah menjadi satu dengan ayam suir di dalam mulut. Buru-buru meneguk es jeruk hingga bisa menyelamatkan jalan napas.
"Kamu kenapa sih? Tiap aku singgung soal Kavi, kok jadi salting?" tanya Moira penasaran.
Nola menggeleng hebat seraya menepis pertanyaan Moira, "Ngapain salting sama dosen aneh? Hih!"
"Yaudah, santai bisa, kan? Jadi, kemarin ternyata Kavi dipanggil ketua jurusan." Kalimat Moira masih berlanjut, tetapi sisanya tidak bisa ditangkap Nola. Ia merasa ada sesuatu yang menghantam dada begitu kuat.
Langsung berlari meninggalkan Moira, juga nasi bakar yang masih tersisa seperempat dalam bungkusan daun pisang di atas piring. Beberapa kali hampir menabrak mahasiswa yang sedang melintas, bahkan hampir terjatuh ketika hendak menggapai tombol lift.
Di dalam lift, menyempatkan untuk mengatur napas. Deru napas yang seperti kuda sempat membuat mahasiswa yang juga berada dalam lift menoleh.
Memegang perut dengan kedua tangan sambil sedikit membungkuk, Nola meyakinkan bahwa dirinya tidak apa-apa. Begitu mencapai lantai empat, Nola kembali berlari menuju ruang dosen.
Tanpa mengetuk pintu dan lupa mengucap salam, gadis itu menuju ruangan Kavi. Membuka lebar pintu hingga membuat Kavi yang sedang menyesap kopi terkejut setengah mati. Sedikit kopi tertumpah ke kemejanya.
"Maaf," sesal Nola.
Ia segera mengambil tisu di atas meja dan melap kemeja Kavi. Sementara dosen itu hanya membiarkan. Jarak antara keduanya hampir tidak ada. Nola bisa merasakan embusan napas Kavi yang bercampur nikotin.
Gadis itu tampak terpana dengan tatapan mata Kavi, lalu beralih ke bibir bagian bawahnya yang terbelah satu garis lurus. Aliran darah melaju kencang seolah hendak mengguyur tubuh.
"Kenapa?" Selain mengejutkan, suara Kavi yang sedikit berat itu nyaris membuat Nola meleleh.
Segera mundur dan berdiri di balik meja kerja dosen itu. Masih diliputi napas yang ngos-ngosan dan gemetar, ia berusaha mengutarakan pertanyaan. Namun, tidak ada kata yang berhasil lahir dari bibirnya yang tipis.
Kavi pun memberikan sebotol kecil air mineral. Nola segera meneguknya habis. Lalu melap sedikit ceceran air di bibir dengan punggung tangan. Membuat dosen itu tersenyum. Ah, lagi-lagi senyum yang manis!
"Kamu dipanggil kajur?" tanya Nola pada akhirnya.
Sebelum menjawab, Kavi meminta Nola untuk duduk terlebih dahulu. Sambil membersihkan noda kopi dengan tisu, ia membenarkan pertanyaan tersebut.
"Kenapa?" tanya Nola lagi.
"Kenapa?" tanya Kavi balik.
"Iya, kenapa kamu dipanggil kajur?"
Kavi tertawa sebentar. Lalu duduk dengan kedua tangan yang saling menggenggam di atas meja. Tubuhnya kian merapat seolah hendak menembus meja yang berada di antara dirinya dan Nola.
Sorot mata menusuk hingga ke jantung Nola. Membuat gadis itu menahan napas sambil mengatup bibir rapat-rapat. Ingin segera mengakhiri situasi seperti ini, tetapi harus berbuat apa? Nola sangat perlu jawaban Kavi.
Segera saja gadis itu memarahi Kavi. Ia meminta Kavi untuk berhenti saja menjadi juru masak di kafe. Fokus pada satu pekerjaan akan lebih memudahkan. Bila ingin bekerja sambilan, yang lebih tepat adalah berdagang, bukan menjadi karyawan juga.
Tidak terasa air mata menitik, membasahi jemari yang saling meremas di atas paha. Sekalipun Kavi adalah dosen aneh nan menyebalkan bagi Nola, tetapi ia tetap tidak tega jika Kavi harus berurusan dengan kampus. Lebih tepatnya, ia tidak mau kafe terseret-seret dalam masalah, apalagi jika harus disalahkan apabila terjadi sesuatu kepada Kavi nantinya.
Kavi berusaha menyela kalimat Nola yang tidak berhenti melorot dari bibir. Sampai akhirnya dosen itu harus sedikit menaikkan tinggi suaranya, "Nola, dengarkan saya dulu."
"Saya dipanggil kajur, karena saya diangkat menjadi ketua jurusan," ucap Kavi pelan seraya menyandarkan punggung ke kursi empuk yang beroda.
Hah?
Seolah mengerti kebingungan Nola, Kavi mengangguk-angguk membenarkan kalimatnya barusan. Gadis itu membuang napas seraya tertawa kecil. Menertawakan diri sendiri di depan orang lain sebenarnya malah membuat air mata ingin jatuh.
Entah ke mana harus meletakkan rasa malu, tanpa pamit, Nola segera pergi. Ia meneriakkan kebodohannya di sepanjang koridor. Mengepal kedua tangan dan berjalan dengan mengentak-entak.
"Kenapa? Aman?" tanya Moira yang berdiri bersandar di pagar tembok koridor depan pintu kelas.
Nola hanya mendengkus dan berlalu masuk ke kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]
Teen FictionBlurb: Kata Tory, Nola, sahabatnya si paling "gak enakkan" itu memiliki "dosa" di kampus Garuda Nusantara. Benarkah itu? Apa sebenarnya yang Nola rasakan akan kehadiran "si dosa"? ========================= Dimulai: 1 September 2022 Tamat: 30 Novemb...