Bab 38

92 4 0
                                    

Nola mengernyit mendengar aksi bullying terhadap Moira. Ia menatap perempuan yang tengah mengeluarkan sebungkus permen karet dan menikmati manisnya gula dengan nikmat, sesekali membuat gelembung yang cukup besar dengan bibirnya yang dipoles lip cream berwarna nude. Duduk dengan punggung yang seakan menempel pada sandaran kursi, kaki kanannya menopang kaki kiri yang bergoyang-goyang.

Sadar sedang ditatap, Moira bertanya dengan isyarat dagu. Nola melongo. Rasa penasaran kian membengkak, tetapi rangkaian pertanyaan tidak juga bisa meluncur dari tenggorokan.

"Kamu di bully." Tiba-tiba saja kalimat ambigu itu lolos dari mulut Nola. Dan sontak membuat Moira tertawa keras.

Bibir-bibir dengan bibit bullying itu bergantian menutup hingga bungkam keseluruhan. Sementara tawa Moira masih berserak. Kini seisi kelas saling bertanya. Hanya Nola yang bertanya pada dirinya sendiri.

Hingga seorang dosen datang, Moira langsung mengurangi tawa. Melap ujung mata yang berair dengan tisu.

Selama mata kuliah berlangsung, mata Nola boleh saja mengarah pada papan proyektor yang menampilkan lembaran presentasi materi, tetapi sebenarnya pikirannya sibuk mencari-cari jawaban atas tindakan Moira barusan. Ia tidak mengerti kenapa perempuan ganas yang gemar merundung tiba-tiba menolak aksi perundungan dan bahkan dirundung.

"Pssttt!"

Nola menoleh ke arah suara. Moira menggeser kursi mendekat. Derit yang ditimbulkan antara gesekan kaki kursi dan keramik mengundang dosen yang tengah menjelaskan, mencari sumber suara. Moira diam sejenak, pura-pura tidak tahu. Dan kembali menggeser kursi ketika dosen melanjutkan penjelasan.

Kali ini kursinya kian mendekat hingga tidak berjarak dengan kursi Nola. Sebelum Nola menggeser kursi menjauh, Moira lebih dulu menahan tangan Nola.

"Takut banget sih. Aku gak gigit," ucapnya berbisik. "Eh, kamu tahu kenapa Kavi gak masuk?" lanjutnya.

Nola hanya menggeleng dengan tatapan yang masih setia pada layar proyektor. Sementara jemarinya sibuk mencatat materi.

Moira kembali berkata, bahwa ia tahu di mana Kavi. Seketika Nola tidak lagi mencatat. Ia langsung menoleh, menatap wajah Moira. Namun, belum sempat berkata-kata, dosen sudah keburu meminta Moira untuk keluar kelas.

Dengan santai, Moira pun melenggang keluar kelas. Ia juga mengucapkan permintaan maaf sebelum menutup pintu.

***

Nola dan papa menikmati kerlip bintang dari teras rumah. Mereka bercerita apa saja yang bisa membuat tertawa hingga mengeluarkan air mata. Sesekali menikmati terang bulan yang mereka beli di gerobak depan kompleks.

Terang bulan dengan taburan keju yang melimpah, serta siraman krimer kental manis sangat pas dipasangkan dengan teh tawar hangat. Sedangkan papa memilih isian ketan hitam yang gurih yang selalu menjadi favoritnya.

Dulu, momen kehangatan seperti ini hampir setiap malam Nola lakukan dengan mama. Berbagi cerita apa saja tanpa perlu menyaringnya terlebih dahulu. Mama adalah tempat di mana segala cerita bisa ditumpahkan. Meski sebenarnya ia juga tengah memendam sesuatu yang tidak mudah atau bahkan tidak mungkin untuknya bercerita.

Karena kehilangan momen itu, papa ingin menebusnya mulai sekarang. Betapa pekerjaan sempat membawanya terlalu jauh dari keluarga. Padahal keinginannya hanya satu; yang terbaik untuk Nola dan mama. Namun, pada nyatanya pekerjaanlah yang memberi jarak keakraban antara papa dan anak itu.

Disela-sela suara tawa yang membanjiri tengah malam ini, terselip semilir angin yang berembus. Perlahan mengusir bintang. Mengganti dengan kumpulan mendung.

Tidak berlama-lama, rintik hujan mulai turun satu per satu. Nola dan papa segera membereskan meja, hendak masuk. Namun, seseorang datang mengetuk pagar.

Hujan mulai lebat, di bawah temaramnya lampu di sisi pagar, Nola tidak mengenali sosok yang masih berdiri di bawah hujan itu. Ia menggunakan hoodie jumper berwarna hitam.

Berbeda dengan Nola yang merasa takut, papa justru membukakan pagar dan menyilakan orang itu untuk segera ke teras, agar terlepas dari serangan hujan.

Begitu di teras, ia segera melepas hoodie dan menepuk-nepuk jumper yang hampir basah kuyup.

"Moira?"

"Temanmu?" tanya papa yang langsung mendapat anggukan dari Moira.

Sementara Nola masih mematung dengan nampan yang tengah dipegangnya. Papa segera mengambil alih nampan dari tangan Nola, membawa ke dapur dan tidak berselang lama kembali dengan secangkir teh hangat untuk Moira yang belum dipersilakan Nola untuk duduk.

Mereka masih betah bertatap-tatapan. Hingga papa meminta Moira untuk duduk dan menikmati hangatnya teh di tengah dinginnya udara. Sebab ia menolak ketika diminta masuk.

Moira mulai menyesap. Rasa hangat kemudian menjalar ke seluruh tubuh yang hampir kedinginan. Matanya yang memakai eyeliner itu melirik Nola yang masih berdiri.

"Kenapa, Nola? Kok tegang gitu?" kata papa sebelum melangkah masuk, meninggalkan mereka berdua yang masih saling bungkam.

Moira meletakkan cangkir ke atas pisin begitu papa sudah menghilang di balik pintu. Dan meminta Nola untuk segera duduk.

Dih! Ini rumah siapa!

Nola menempati ujung kursi, hampir saja terjungkal karena terlalu ujung. Moira dengan sigap menangkap tangan Nola. Hampir saja ia melepaskan tawa, jika tidak mengingat tujuannya datang kemari.

"Kamu harus ikut aku," kata Moira begitu Nola sudah duduk dengan semestinya.

Tentu saja Nola menolak. Ia tidak merasa berteman dengan Moira. Apalagi perempuan yang di hadapannya kini adalah perempuan yang pernah merundungnya.

Seakan mendengar suara hati Nola, Moira tiba-tiba menguraikan kata maaf atas perlakuan tidak menyenangkannya. Ia berjanji tidak akan mengulangi dan akan menebus kesalahan itu dengan melindungi Nola.

Nola yang tengah geram, ingin memuntahkan kalimat tidak persetujuan. Ia merasa tidak harus dilindungi. Seharusnya seulas kata maaf sudah cukup.

"Kita gak punya banyak waktu. Kamu harus ikut aku," ucapnya lagi, seraya menarik tangan Nola menuju pagar.

Nola memberontak hingga mengundang papa untuk keluar. Moira tidak bisa berkata banyak, hanya sepatah kalimat yang langsung membuat papa mengizinkan Nola untuk pergi.

"Tory kenapa?" tanya Nola di dalam mobil.

Moira yang tengah mengemudi hanya diam, fokus dengan jalanan yang terhalang rintik hujan. Kecepatan mobil membuat Nola hanya bisa memejamkan mata di sepanjang perjalanan. Tidak lagi banyak tanya, hanya lantunan zikir yang dirapal gadis itu dalam hati.

Mereka pun tiba di depan sebuah kelab malam. Moira memarkir sembarang mobilnya dan mengajak Nola untuk masuk melalui pintu khusus. Ia tertinggal beberapa langkah di belakang. Karena langkah Moira begitu lebar dan cepat.

Dua orang laki-laki bertubuh besar yang menjaga pintu sempat menghadang Nola untuk masuk. Gadis itu hanya terdiam, sementara Moira sudah jauh melewati pintu.

"Dia sama aku. Aman," ucap Moira yang rupanya berbalik.

Mereka pun masuk dan Nola mencoba menyeimbangkan langkah dengan Moira. Menyusuri lorong dengan pencahayaan minim. Banyak pintu di kanan dan kirinya. Sesekali berselisih dengan laki-laki paruh baya yang menggandeng seorang gadis muda.

Di ujung lorong, Moira membawa Nola ke arah kanan dan tibalah mereka di ruangan luas dengan cahaya kelap-kelip.









Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang