83. Tiga Kalimatku Untukmu

1.1K 236 183
                                    

Semua orang berada dalam keheningan. Tak ada yang berani bersuara. Bahkan, angin pun enggan menyuarakan kehadirannya.

Sama seperti dia yang menutupi tangisannya dengan telapak tangan, semua orang terlelap di ruang kesedihan.

Dia menjambak rambut untuk menyalurkan hatinya yang berdenyut nyeri.

Menangis dalam diam adalah hal yang paling menyakitkan. Bibirnya tak mampu lagi bersuara. Di dalam ruangan serba hijau, seseorang sedang berada dalam keadaan kritis. Mempertaruhkan nyawa melawan rasa sakit.

Acha datang bersama keluarga. Arjuna, Eujihan, tak lupa juga dengan Nur dan Arkan menjenguk anak kesayangan.

Nur memeluk tubuh Dina. Cewek itu terkejut mendapat pelukan dari sang bunda. Nur mengusap surai Dina.

"Ibu sayang kamu," ucapnya.

Dina memeluk ibunya. Arkan tersenyum melihat pemandangan.

"Dina juga sayang ibu,"

Arkan memeluk ibu dan kakaknya. "Arkan juga, kakak jangan sedih."

Dina mengangguk. Nur melepas pelukannya. Dia mencium kening anak gadisnya. Sepertinya, kehidupan lembut Nur menguasi tubuhnya saat ini.

"Antonio, di mana anak Bunda?" Acha menggoyangkan pundak Antonio.

Antonio yang biasanya memiliki tatapan tajam, kini tatapan itu berubah menjadi tatapan kosong.

"Di dalam... Bunda," suaranya teramat lirih.

Acha memegangi dadanya. Dia terperosot ke bawah. Arjuna senantiasa selalu menjaga. Dia memeluk sang istri, dan mengusap punggung.

"Bang Anton," Eujihan mencengkram kedua pundak Antonio.

"A-abang akan selamat, kan?"

Aradina berdiri mendengar pertanyaan Eujihan. Dia menarik cewek itu menghadapnya.

"Kenapa lo tanya gitu? Tirex pasti selamat, Jihan!" teriaknya tak karuan.

Hanabi mengerti apa yang dirasakan Dina. Di sini, hanya gadis itu saja yang tidak mengerti keadaan Tirex yang sebenarnya. Dia menyentuh pundaknya.

"Dina tenang, ini rumah sakit," ujar Hanabi.

Dina menghempaskan tangan Hanabi. "Gimana gue bisa tenang kalau keadaannya seperti ini, Han?"

Hanabi geram. Dia mencengkram pundaknya. Menatap netra gadis itu. Gadis pemilik senyum manis.

"Bukan cuma lo yang khawatir. Tapi kita semua di sini juga sama, Dina. Kita tau keadaan Tirex di dalam sedang kritis. Tapi kita tidak boleh egois, kita harus mematuhi peraturan rumah sakit untuk tenang, percayakan semua ini sama dokter."

"Lo harus mengerti, Din," lirih Hanabi.

Mata bengkak. Ujung hidung memerah seperti tomat. Menangis sesenggukan dan air mata yang masih terus turun. Napasnya pun tersengal-sengal. Ya Tuhan, sudah berapa lama dia menangis?

Dina menatap sekeliling. Tapi mereka justru mengalihkan pandangan.

"Kenapa cuma gue yang harus mengerti?" Dina membalas tatapan Hanabi.

Hanabi melepas genggamannya.

"Dan kenapa kalian semua nggak ada yang mau natap gue? Apa salah gue sama kalian?"

Mereka semua menunduk.

Hanabi menggeleng. "Nggak ada, jangan berpikiran negatif,"

"Gue nggak berpikir negatif, tapi kalian yang buat pikiran gue tambah gak tenang."

Secret MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang