80. Apa yang Sebenarnya Terjadi?

1K 210 56
                                    

Suara sirine yang mengaung dikalahkan oleh suara erangan kesakitan dari seorang lelaki yang tengah memegang perut bagian atas kanan.

Nyeri panas menjalar ke seluruh tubuh. Tulang rusuk seperti dipatahkan secara paksa. Keringat dingin mengucur begitu derasnya. Dia meringkuk. Menggigit bibir bawahnya berharap bisa menyalurkan rasa sakit.

"Shh," ringisnya.

Khawatir. Satu kata yang menggambarkan ekspresi mereka saat ini. Tak pernah sekalipun ketua Tirexay itu terlihat sangat kesakitan. Saat tawuran dan mendapat luka pun, dia hanya tertawa kemenangan.

Namun sekarang?

Tidak ada angin. Tidak ada hujan. Tidak ada tawuran. Tidak ada bogeman. Tidak ada adu jotos, tapi dia merasakan perih serta panas yang merasuki tubuh hingga tampak seperti orang yang kesetanan.

"Lo kenapa sih, Rex?"

Satu kalimat tanya itu terlempar dari mulut Aradina. Bukan tanpa alasan dia ikut. Setelah limbung dalam pelukannya, cowok itu memeluknya dengan sangat erat. Menggenggam tangan hingga tak bisa terlepas.

Zahra memaksa untuk melepas dan ikut. Tapi Antonio mengusirnya. Mobil ambulans tidak bisa memuat banyak orang.

Bukan egois tapi, Aradina sangat cemas.

Dan...

Ada satu hal lagi yang ingin ia tanyakan pada cowok itu. Apakah kalimat itu ditunjukkan untuknya? Atau untuk orang lain?

Tidak, tidak! Dia tidak baper. Tapi hanya ingin mengetahui saja. Dina akui, dia berharap kalimat i love you itu ditunjukkan memang untuknya.

Salahkah jika dia berharap cowok itu membalas perasaannya?

"Argh!!"

"Anj-jing," rintihnya tertatih.

Antonio berdecak sebal. Ambulans ini jalannya sangat lama. "CEPETAN! SEPUPU GUE KESAKITAN GOBLOK!"

Kupingnya berdengung. Matanya membola.

"What the fuck!" sarkas Firman.

"Lo gak tau apa ini udah mepet spedometer, bangsat!" Firman menunjuk spedometer ambulans. Dia melakukannya sangat kencang.

"Di saat seperti ini kenapa rumah sakit terasa sangat jauh?" monolog Hanabi. "Bisa nggak sih lebih cepat lagi!" desaknya.

Firman melirik sekilas. "Sialan, lo pikir ini mobil sport?!"

"Kalau tau gini bawa mobil gue aja," saran Antonio yang terlambat.

"Berisik!"

Antonio, Hanabi dan Firman bungkam. Suara Dina menghentikan adu mulut mereka.

"Lo bertiga bisa diam?"

"Siapa lo ngatur-ngatur gue?"

Ingat! Firman masih menyimpan dendam pada gadis itu.

"Jangan pancing keributan. Kalau gue tendang lo keluar, mati lo!"

Firman berdecak. Gadis disampingnya sedikit mengganggu fokus. Ah tidak! Bukan lagi sedikit, tapi sangat-sangat mengganggu.

"Gue juga bisa lempar lo dari mobil. Mumpung kecepatannya di atas rata-rata, lo bakalan mati dengan cepat!"

"Lama-lama gue tonjok lo anj-"

Hanabi tak melanjutkan ucapannya tatkala Dina menyentaknya. "DIAM HANABI!"

Hanabi menyilangkan tangan. Melemparkan pandangan menghadap keluar jendela. Dia sedikit menyesal memaksa Dina ikut, dan kini dia terjebak di kursi samping supir.

Secret MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang