26. Permintaan Tirex?

2K 372 15
                                    

Kilatan petir bersahutan di atas langit yang mulai menghitam. Variasi cahaya putih berakar serabut itu menyambut kedatangan air hujan. Hujan deras turun mengguyur Bumi dan seisinya. Angin ribut yang kencang berhasil mendobrak jendela kaca dalam kamarnya. Gorden putih berterbangan menyipratkan air yang sudah mulai turun. Hawa panas bercampur dingin memaksa masuk ke dalam kulit seorang gadis cantik yang sedang memejamkan mata.

Selimut tebal yang menghangatkan tubuhnya terasa begitu dingin. Udara malam membangunkan tidur panjangnya. Tubuhnya terasa menggigil. Hidungnya mencium bau tanah yang begitu menguar. Bulu mata lentik itu perlahan naik ke atas.

Matanya terbuka sempurna menatap ke atap langit kamar berwarna abu-abu. Terakhir kali ia memejamkan mata di dalam gudang tembakau, saat seseorang memberikan tamparan kencang yang menghujani pipinya beberapa kali dengan keras. Tapi, sekarang ia berada di tempat lain. Bukan Rumah Sakit maupun kamarnya. Melainkan kamar lain yang ia sendiri pun tak tau milik siapa.

Cewek itu mencoba untuk duduk dan menelisik seluruh ruangan. "Di mana ini?"

Kerutan kening mengekspresikan satu kalimat tanya yang keluar dari bibir merah mudanya. Kepalanya belum pulih dari pening. Rasa pusing masih berkeliling. Tangannya beralih memegang kepala, memijatnya perlahan meringankan sakit.

Seorang wanita setengah baya yang sangat amat cantik datang menghampiri dirinya dengan membawa sebuah nampan di tangan.

"Sudah sadar?" tanyanya seraya tersenyum.

Nampan berisi bubur beliau letakkan di atas meja. Ia berjalan untuk menutup jendela. Cewek itu terkejut mengetahui siapa beliau. Bagaimana bisa wanita cantik ini berada di sini. Dari luar pintu terlihat sebuah ruangan yang sangat menawan. Sepertinya ia tau di mana dirinya sekarang. Ia pun tersadar, jika wanita tersebut adalah pemilik rumah megah.

"Bu Acha?"

Acha tersenyum menghampirinya. Tanganya mengelus puncak rambutnya. "Panggil Bunda aja ya, Nak?"

Pipinya bersemu merah. Tak tau mengapa hatinya berdesir mendengar kata-kata tersebut. Rasanya, membahagiakan ketika dipanggil 'Nak' olehnya. Sudah lama ia tak merasakan panggilan seperti itu, membuat kupu-kupu kecil berterbangan di dalam dadanya.

"I-iya Bunda," Dina mendongak. "Dina kenapa ada di sini?"

"Karna kamu sedang tidak baik-baik saja, mana mungkin Bunda tega biarin kamu sendirian di rumah?"

Dina mencoba mengingat kejadian buruk yang menimpanya. Kepalanya mendadak sakit teringat kejadian yang sangat menyakitkan. Ia memijat keningnya. Acha memegang tangan Dina.

"Masih sakit?"

Dina tersenyum. "Sedikit kok Bu," ia sadar panggilannya salah.

"E-eh maksudnya, Bunda,"

Acha tersenyum lantas mengangguk. Ia berdiri lalu berkata, "Bunda sudah panggil perawat, dia yang akan rawat kamu sampai sembuh, sekarang Bunda pamit rapat dulu ya, jangan lupa di makan,"

Dina tercengang mendengar satu persatu kalimat yang keluar dari bibir kecilnya. Ia pun membalas senyuman Acha.

Camtik sekali Bunda Acha, pujinya.

Setelah mengelus pipinya, Acha berjalan keluar kamar meninggalkan Dina sendirian. Dina terdiam begitu lama, hingga akhirnya ia teringat sesuatu yang belum sempat ia tanyakan.

"Bu, eh- maksudnya, Bunda? I-ini kamarnya... Sia... Pa?" Acha tidak mendengar panggilan pelan Dina, ia menghilang dari balik pintu.

Dina mendengus pelan. Ia menyibakkan selimut yang sedari tadi menyelimuti kakinya. Tangannya sedikit tremor. Entah berapa lama ia tertidur, perutnya terasa sangat lapar.

Secret MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang