Limapuluh tujuh

1.4K 105 12
                                    






Caca tuh hampir setipe dengan bunda Nadine, kalau didiamkan yah bakal balik mendiamkan. Apalagi caca sudah berusaha untuk bicara dengan deva, tapi deva selalu saja menghindar darinya.

Yah sudah, lebih baik sekarang ia diam, toh caca sudah mencoba untuk memulainya, tapi suaminya tak menanggapinya.

Subuh tadi tiba tiba perutnya bergejolak hebat, berkahir ia mendekam di depan wastafel cukup lama.

Dan pagi ini kepalanya terasa berdenyut hebat, alhasil caca masih asik merebahkan tubuhnya, tanpa memerdulikan aira yang dari tadi menjerit jerit memanggilnya.

Brukkk,

"Ya Tuhan aira" deva yang baru saja keluar dari kamar mandi berlari cepat ke arah anaknya.

Seketika tangis aira pun pecah, menggelegar.

"Huwahh....Huwahhh...."

Caca yang mendengar teriakan suaminya dan tangisan anaknya pun seketika bangun, dan terduduk. Aira jatuh dari bok nya.

"Huwahh .. Yayah"

"Udah ya gak apa apa yang sayang ya" ucap deva menengkan, mengelus lembut punggung anaknya.

Deva melirik ke arah istrinya "Kalau anaknya manggil tuh bangun, ini sudah siang. Jangan cuma pikirin diri kamu, pikirin juga anak kamu yang dari tadi teriak manggil kamu" ucap deva ketus.

Deg, hati caca mencelos mendengarnya. Ia masih diam, menelahan ucapan menyakitkan suaminya. Di tambah ia masih kaget dengan kejadian yang baru saja terjadi pada aira.

Aira terus saja menangis tanpa henti, tangisnya pecah.

"Sttt... udah ya sayang ya, ini ayah sayang. Apa yang sakit nak ? Biar ayah obati nak" Tanya deva menengkan anaknya.

"Kaki ra takit yah" balasnya memengang kaki sebelah kanannya.

Deva meraih kaki aira, meniupnya berkali kali dan mengusapnya lembut "udah ayah tiup tiup kakinya, udah sembuh sekarang. Aira kan anak pinter, anak hebat juga, udah ya nangisnya"

Aira mengangguk, tangisnya mulai mereda. Menyenderkan kepalanya di bahu sang ayah.

"Lain kali kalau anaknya manggil tuh bangun, untung kali ini gak apa apa. Kalau sampai nanti kenapa napa gimana ?" ucap deva sinis.

Lagi lagi ucapan suaminya terdengar tak enak di telinganya, ia tak bermaksud melakukan itu. Kalau saja kepalnya tak berdenyut, caca pasti akan bangun kok "dia tuh anak aku mas, aku ibunya. Masa iya aku mau mencelakain anakku sendiri sih" balas caca, menahan air matanya.

"Iya kamu ibunya, tapi kamu sering banget lalai dalam menjaga aira. Berkali kali aira celaka di dalam pengawasan kamu. Kalau memang kamu udah gak sanggup jaga aira, bilang sama aku. Biar aku sewa babysister untuk mengurus anak aku"

Deg, hati caca makin sakit rasanya mendengar tuduhan suaminya itu. Air mata yang ia tahan pun runtuh sudah "aku emang ibu yang gak baik, ibu yang gak becus, ibu yang bodoh, ibu yang lalai, dan hanya bisa mencelakai anaknya. Terus mau kamu apa ? Mau sewa babysister untuk mengurus anak kamu ? Silakan mas, aku tak akan melarangnya" balas caca menggebu.

"Jangan egois lah, pikirin anak kamu. Kalau dia kenapa napa gimana ?"

"Egois kamu bilang ? Apa kurang bakti ku selama ini sama kamu dan anak kamu mas, aku rela tak makan, tak tidur demi mengurus anak kamu, terus kamu seenaknya bilang aku egois. Terus kalau aku egois kamu apa ?"

"Aira anakku, sampai kapanpun aku tak rela melihat anakku celaka" balas deva berlalu keluar, dengan aira yang masih ada di gendongannya.

Tengis caca seketika pecah, sejadi jadinya. Hati  ia tak pernah sesakit ini rasanya. Di remehkan dan di anggap tak bisa menjaga anaknya dengan baik, sungguh rasanya sangat sangat menyakitkan.





Takdirku Bersamamu (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang