12. Awal Kehancuran (12)

4 2 0
                                    

"Aku tidak mengira, dia akan lebih dulu melangkah daripada kita." Wanita itu tertawa pelan dengan nada senangnya, dia tersenyum ke arah Darren, Amaran, dan Alesia yang sedang memperhatikan tiga orang dewasa di hadapannya.

Mereka sedang menyaksikan Arth yang tengah membawa lentera di tangan kanannya untuk menerangi saat yang begitu gelap karena langit dipenuhi awan hitam. Amaran sedikit bingung, dari mana pria itu mendapatkan lentera sampai membawa benda itu untuk menyaksikan seseorang.

Seseorang yang sedang berada dalam putus asa yang begitu melonjak.

Arth melangkah perlahan, sedangkan laki-laki berambut pirang dan wanita bertopi itu hanya menyaksikannya tepat di depan tiga anak lainnya. Mereka bertujuan untuk menghalangi ketiga anak itu agar tidak berbuat nekat apalagi di saat yang kurang aman.

Wanita yang meringkuk di atas tanah dengan seluruh luka yang didapatkannya hanya bisa melirik Arth. Dia perlahan-lahan mengubah posisinya menjadi duduk. Dengan rambut panjang acak-acakan yang basah kuyup setelah diguyur air hujan. Wanita itu mendongak ke atas untuk menyaksikan apa yang telah menghampirinya.

"Arth, kamu datang?"

"Ever In."

Everin tertawa terbahak-bahak. "Gila, aku tidak menyangkanya. Aku benar-benar bertemu dengannya, dan aku menceritakan semuanya. Apa kamu percaya itu, Arth? Tentangnya, tentang ... dunia ini."

"T-tidakkah kalian mengira, Bibi Fane benar-benar orang yang memiliki kepribadian...." Tidak melanjutkan kata-katanya, Alesia hanya menutup mulutnya.

"Aku tahu, dia wanita yang cukup keras kepala." Wanita bertopi itu menyahuti Alesia, tangan kirinya terentang seolah menghalangi ketiga anak di belakangnya.

"Tidak semenyebalkan kamu, sih."

Wanita bertopi itu memutar bola matanya saat mendengar sahutan pria berambut pirang disampingnya. Pihak Arth sepertinya cukup dekat dalam waktu dua hari, mereka terlihat seperti sudah mengenal dengan dekat sampai Darren terus menatap mereka untuk mengawasi.

Arth berlutut tepat di depan Everin. Pria itu menggerakkan tangannya untuk menyingkirkan rambut Everin yang menutupi mata wanita itu sehingga sulit bagi Arth untuk menatap kedua matanya. Dia tersenyum melihat Everin memberikan seringaian padanya.

"Apa kamu pikir aku akan bertindak sesuai dengan apa yang kamu harapkan?" Everin menggerak-gerakkan kepalanya agar terlepas dari pegangan tangan Arth. "Padahal aku tidak menaruh harapan sedikit pun padamu."

Arth tersenyum miring dengan matanya yang melirik ke arah lain. "Aku yang mengharapkanmu, atau kamu yang mengharapkanku?" Laki-laki itu berdiri dari duduknya, mengeluarkan pill yang ada di saku celananya. "Sejujurnya aku memang ingin kamu berada di pihakku, tapi itu tidak memungkinkan, jadi aku akan mengikuti semua permainanmu."

"Bahkan jika aku memiliki kemampuan sebagai author?"

"Lalu, apa juri mengizinkannya?"

Everin mengembuskan nafasnya kasar. "Sialan, sejak awal tidak boleh ada yang pernah mengikuti jejak antagonis...."

"Aku pemilik hak cipta, Fane tidak bisa melakukan apa-apa lagi, bukan?"

"Terserahmu, brengsek."

"Pria itu akan cepat mendapatkan masalah jika Everin memulai aksinya," komentar Darren membuat orang-orang di sekitarnya langsung menoleh kebingungan. "Aku benar, kan?"

Wanita bertopi itu tersenyum. Dia memperbaiki posisi berdirinya, melipat kedua tangan di depan dadanya menghadap ke arah tiga anak yang sedang menyaksikan aksi sang antagonis Arth.

MAKE A PLOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang