49. Dua Kubu (18)

0 1 0
                                    

Amaran memejamkan matanya. Merasakan sesuatu yang luar biasa saat dia mencoba menembus sesuatu yang menghalangi kala dirinya merasakan semua tindakan. Tak lama, mata Amaran kembali terbuka, memperlihatkan manik merah mudanya yang dipenuhi dengan kilauan.

Gadis itu takjub, merasa terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bukan hanya dalam Inggris, bahkan dia bisa melihat beberapa negara yang sedang kacau di luar sana. Amaran mundur sedikit, menatap kedua telapak tangannya dan kembali memejamkan mata itu secara perlahan.

Sebelum dia mengingat sesuatu tentang beberapa hari yang lalu.

"Amaran." Darren memanggilnya, seperti biasa membuat Amaran yang sedang bekerja dengan lesu menolehkan kepala. "Izinkan aku berada di sini sebentar, ada beberapa informasi yang harus diurus. Rafael meminta itu padamu."

"Rafael?"

Amaran hanya duduk, melihat Darren yang berada di atas tilam, membuka beberapa kertas yang ia pegang. "Pertama, cari sebagian orang yang berada di luar Inggris, dan jika kamu melihat seseorang dengan kemampuan–"

Belum menyelesaikan perkataannya, Darren mengangkat satu alisnya kebingungan saat melihat Amaran yang tiba-tiba menatapnya begitu dalam.

"Apa?"

"Bukankah kamu masih belum pulih?" tanya Amaran membuat Darren menghela napas dan menggeleng kepalanya pelan.

"Tidak, aku sudah sembuh, jangan pedulikan itu."

Amaran membalikkan badannya untuk lebih fokus ke beberapa kertas di atas meja. "Kamu tahu, 'kan? Persentase kemampuanku pasti tidak cukup jika harus digunakan sampai ke luar Inggris. Itu membutuhkan lebih banyak persentase agar aku bisa melihatnya secara jelas."

"Kalau begitu tidak perlu dilanjutkan." Amaran menoleh, kemudian mengernyit saat melihat Darren yang menata kertas di tangannya. "Kenapa harus repot-repot? Kemampuanmu ada batasannya juga."

Amaran terdiam, mengembuskan napasnya dan memainkan pena yang ia simpan di atas meja.

"Aku tahu apa niat Rafael, Amaran." Darren sedikit melirik ke arah Amaran yang masih diam di tempatnya. "Rafael tidak mungkin membuat kemampuanmu habis begitu saja, kamu sebenarnya menyimpan lebih banyak persentase, 'kan?"

"Ugh, kenapa sih ... tidak ada yang meminta orang-orang untuk membuatku ikut campur." Amaran mencoret-coret kertas, layaknya seseorang yang sedang serius bekerja, tetapi nyatanya dia hanya membuat tulisan abstrak di atas kertas tersebut.

"Bukan itu intinya."

Amaran memutar bola mata. "Jika kamu datang hanya untuk menginterogasi, lebih baik tinggalkan aku sendiri dan pulihkan tubuhmu itu."

"Aku hanya penasaran dengan alasanmu, Amaran. Aku hanya tidak ingin ada sesuatu terjadi padamu. Kita sudah dekat, sejak awal kompetisi ...." Darren berujar, tetapi matanya masih terfokus pada kertas-kertas yang ia pegang.

"Dekat? Padahal kita hanya sepasang teman." Amaran memberikan penjelasan, membuat Darren mengentikan kegiatannya.

Lelaki itu menatap tajam Amaran yang memperhatikannya. Hati Darren terasa janggal, ruang merah muda itu seperti dipenuhi dengan api yang sedikit membara. Darren menghela napasnya, mengabaikan kegiatan dan mencoba untuk fokus pada percakapan.

"Jadi hanya aku yang menganggap kita berdua lebih dari sekadar teman?" Darren berdecih. "Bahkan sahabat pun tidak?"

"Hm? Kenapa kamu tiba-tiba mengatakan itu?" Amaran menoleh, sedikit terkejut saat Darren tiba-tiba berada di belakangnya, berada di antara punggung Amaran membuat gadis itu terdiam sesaat.

"Maaf, Amaran." Darren memungut kembali kertas-kertas yang ia letakkan di atas lantai. Helaan napas keluar dari mulutnya, sebelum Darren berbalik, menghadap ke arah Amaran. "Aku hanya berharap agar kamu tidak retak di antara rembulan."

MAKE A PLOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang