Angin menerjang, bagaikan ombak laut yang siap menenggelamkan. Darren menutupi wajahnya dengan kedua lengan agar dapat terhindar dari serangan tersebut. Saat tubuhnya terbanting ke belakang, Darren mengeluarkan tangan kanan, lantas menarik kain pakaian dari salah satu rekannya yang sedang berjaga.
Punggungnya terasa menyakitkan saat dia membentur sebuah pohon. Untungnya sang rekan tidak terlalu berpisah darinya, justru Darren masih kuat untuk menarik orang itu agar tetap diam di tempat.
Rasa pusing menguasai. Seperti dugaannya, bocah yang mereka temui dapat mengubah watak apa pun. Kimura Rei, sama sekali tidak menggunakan pewatakan itu untuk dirinya, tetapi untuk kemampuannya.
Darren berdiri tegak, sejenak menggunakan sedikit waktu untuk berpikir. Apa mungkin Rei telah mengendalikan benda mati yang memiliki sifat berbeda? Apa lelaki Jepang itu masih bisa menggunakan kemampuannya kepada manusia?
"Sial, aku tarik kata-kataku kembali." Darren mengusap bagian wajahnya dengan kain pakaian lengan, kemudian menghampiri seseorang yang masih terbaring di atas tanah, enggan untuk bangkit dari sana. "Hei, mari kita mulai lagi menyerang untuk menghalau mereka."
Lelaki itu mendongak, menatap Darren. "Apa itu mungkin? Mereka sepertinya kuat."
"Aku tidak begitu mengetahuinya." Darren memicingkan mata, menatap Samuel yang berada di bawah gedung. "Arth terlalu banyak menyembunyikan potensi daripada Rafael. Mungkin karena tujuan mereka yang berbeda."
"Apa sebegitu inginnya mereka melihat dunia luar kompetisi? Aku pikir aku juga penasaran, tapi itu semua tidak ada gunanya." Lelaki itu menerima uluran tangan Darren untuk segera bangkit. "Sama seperti insiden di babak sebelumnya."
Darren tersenyum miring. "Itu namanya klimaks, Sen."
Mereka kembali berdiri tegak. Sen sudah siap dengan senapannya, sedangkan Darren masih terus menurunkan senjata itu, dan secara perlahan berjalan kembali untuk melihat pergerakan mereka.
Sen membelakak, angin kembali datang membuatnya langsung bersembunyi di balik pohon. Namun, Darren tetap berjalan, membiarkan angin tersebut menerpa tubuhnya. Cukup sulit untuk bertahan, tetapi dia harus memaksakan keberaniannya agar Rei tidak merasa menang.
"Jadi itu sebenarnya sifat aslimu, ya?!" seru Darren, lebih kencang agar terdengar oleh lelaki Jepang yang diam di atas bangunan. Darren tidak heran, semakin lama tekad lelaki itu semakin menjadi-jadi.
Bahkan saat ini orang itu tersenyum lebar, memperlihatkan deret giginya. Seseorang di bawah sana--Samuel sampai menganga memperhatikannya.
"Hei, kamu benar-benar punya dendam kesumat, ya?"
Samuel sudah kapok menyahut. Sekarang dia sedang berusaha untuk berdiri karena tubuhnya yang langsung ambruk saat tanah yang dipijakinya tiba-tiba bergerak.
Rei melambaikan tangannya lagi, mungkin dia sudah siap dengan angin baru atau justru mengendalikan tanah dekat hutan yang sedang Darren tempati. Sayangnya lelaki itu tidak peduli, Darren menarik sesuatu dari balik pepohonan, lantas mengarahkan dua buah senapan.
"Kita mulai, si penantang tak sabaran ...." Darren membalasnya dengan senyum yang sama.
* * *
"Fane!"
Lio segera berlari, menghampiri anak laki-laki yang sedang tertidur di atas tanah itu. Dia segera memeriksa semua yang ada pada Fane, memastikan agar anak itu tetap aman.
"Huh? Kamu baik-baik saja ...." Lio bingung, sungguh.
Memikirkan Amaran yang sekarang entah pergi ke mana, dia juga harus memastikan Fane yang terkulai lemas.

KAMU SEDANG MEMBACA
MAKE A PLOT
FantasySebuah karya telah dijadikan sebagai bahan kompetisi di awal tahun. Semua orang yang mengikutinya adalah orang-orang yang berkeinginan menjadi seorang penulis luar biasa. Tanpa mereka tahu jika kompetisi yang mereka alami bukan hanya sebuah kompetis...