Dia berlarian melewati beberapa ruangan, sukses membuat yang lain memperhatikan gerak-geriknya. Aneh sekali, biasanya gadis itu hanya berdiam diri di ruangan karena tugasnya yang membutuhkan banyak ketenangan, tapi kali ini dia tampak bersemangat bahkan rela mengeluarkan keringat untuk terus menyampaikan informasi.
"Padahal kamu bisa berdiam diri di sini bersamaku ...," ujar Rafael setelah melihat setiap pergerakannya, membuat Amaran yang baru sadar mengenai hal itu hanya memberikan cengiran.
Amaran mengembuskan napasnya, lantas duduk di tempat tidur Rafael, membaringkan tubuhnya di atas kasur tersebut. Rafael sendiri memunggungi Amaran karena duduk tegak di kursinya, dia terus melihat pill, entah apa yang akan menjadi tujuan selanjutnya.
Rafael menyunggingkan senyum. "Jadi, apa yang telah membuatmu begitu bersemangat seperti ini?" tanya Rafael, memutar kursinya lantas melihat Amaran yang bergeming di atas tempat tidur.
"Hanya beberapa informasi." Amaran segera mengubah posisinya menjadi duduk, kemudian merenggangkan badannya karena merasakan pegal yang mulai menguasai. "Aku melihat seseorang bernama Val Ryan itu mengincar kemampuan River, dia juga tahu jika kamu memiliki beberapa orang berkemampuan sudut pandang, jadi mereka bertindak dengan sangat hati-hati."
Rafael memegangi dagunya, berpikir keras. "Hm? Aku tidak pernah tahu mereka sangat berambisi tentang ini."
Amaran tersenyum gugup. Apa dia harus katakan yang sejujurnya juga kepada Rafael, jika anak dari Camielle telah lama berada di pihak Arth, yaitu Samuel yang kemarin Amaran lihat berjalan dengan Kimura Rei. Namun, Camielle sendiri sudah tidak ada di sini, entah pergi ke mana karena Amaran sendiri tidak berani menanyakan sesuatu yang bukan urusannya.
"Aku juga tidak tahu. Bahkan aku masih tidak yakin jika kemampuan River masih ada? Bukankah yang tersisa hanya tulisannya?" tanya Amaran, berdeham pelan. "Tulisannya pun mendapatkan plagiat darimu pula."
Rafael nyaris tersedak ludahnya sendiri. Dia hanya tersenyum, menyembunyikan tatapan kesalnya itu dari balik senyuman matanya.
"Kamu tahu jika River bukanlah peserta, 'kan? Dia hanyalah karakter tambahan untuk kepentingan alur yang telah dibuat Fane. Oleh sebab itu, kemampuannya tidak akan sia-sia begitu saja. Panitia atau juri pasti mengurusnya," jawab Rafael, kembali menatap ke arah mejanya.
"Kalau begitu ... kenapa mereka mencarinya ke sini?" Amaran menghela napasnya, sedikit tersenyum miring menandakan sesuatu yang tiba-tiba saja muncul dari tindakannya. "Kemampuan itu kan milik sistem?"
Rafael mengangguk. "Kamu tahu? Dunia kompetisi ini sama seperti permainan video."
"Huh?"
"Yah, kamu tidak sebodoh itu untuk tidak mengerti, 'kan? Aku mengandalkan si sempurna Amaran," balas Rafael, melanjutkan tugasnya tanpa menggubris Amaran yang masih penasaran. "Lebih baik kamu melanjutkan tugasmu yang lain, aku akan senantiasa menunggunya di sini."
Amaran memutar bola matanya, segera beranjak dari tempat tidur lantas berjalan keluar dari kamar Rafael yang pintunya terus terbuka lebar selama 24 jam, mirip seperti toko apotek, kata Lio beberapa hari yang lalu setelah dia mendengar kata-kata Rafael tentang ruangannya.
Omong-omong soal Lio, apakah anak itu sudah terbangun? Jam sudah menunjukkan pukul 05.40 pagi, seharusnya batang hidung Lio sudah dapat Amaran lihat. Lelaki itu memang sering tidur karena kelelahan, tetapi tidak mungkin dia tetap tertidur tanpa menggapai tujuannya itu, 'kan?
Salah satu kamar yang tertutup rapat mulai dibuka oleh Amaran. Gadis itu menyalakan saklar lampu yang terletak dekat pintu, dengan matanya melirik perlahan ke arah seorang lelaki--yang melamun dengan tatapan sayu, menatap ke arah selimutnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
MAKE A PLOT
FantasiaSebuah karya telah dijadikan sebagai bahan kompetisi di awal tahun. Semua orang yang mengikutinya adalah orang-orang yang berkeinginan menjadi seorang penulis luar biasa. Tanpa mereka tahu jika kompetisi yang mereka alami bukan hanya sebuah kompetis...