Rasanya seperti dejavu.
Beberapa detik itu berhenti, membuat hati Lio menolak untuk terus berdetak.
Lelaki itu segera keluar dari antara bebatuan, lantas berlari menghampiri seseorang yang berhasil membuatnya bergerak tanpa suara. Refleks Lio mendorong satu dinding reruntuhan yang begitu berat, meskipun dia tidak bisa menyelamatkannya sama sekali.
"Amaran, bertahan!" Lio terus bergerak mendorong beton yang menimpa pinggang hingga ujung kaki dari gadis berusia merah muda tersebut.
"Percuma, Lio."
Lelaki itu mundur perlahan, menatap Amaran yang mulai memudar. Matanya membelakak, Amaran belum gugur, 'kan? Dia hanya tertimpa reruntuhan, bahkan kedua matanya masih terbuka lebar, masih mampu untuk memberikan senyuman atau bahkan kata-kata untuk Lio.
Lio tetap berusaha, mengabaikan panggilan Amaran yang terus menyerukan namanya. Bahkan di saat yang sama, Lio rela membuat tangannya luka karena terus mengenai reruntuhan berukuran besar di hadapannya.
Satu dorongan lagi ia berikan, tetapi hasilnya lagi-lagi nihil, justru membuat Lio terjatuh ke belakang.
"LIO!"
Lelaki itu menoleh ke arah Amaran. Matanya berkaca-kaca, melihat gadis itu yang semakin kabur.
"Aku tidak apa-apa! Kamu mendengarku, tidak?!" Amaran benar-benar berteriak, membuat Lio hanya menunduk dan menatap tanah yang ia lihat. "Ini tidak terasa menyakitkan, jadi biarkan saja."
"Tapi kamu memudar, pill-mu juga ...." Lio bergerak, mendekati Amaran dan menatap gadis itu lekat-lekat.
Amaran menggeleng. "Iya, tapi bukan karena reruntuhan itu, Lio. Sistem telah kembali, jadi aku harus gugur karena melebihi batas kemampuannya. Seharusnya itu sudah tidak bisa bekerja, 'kan? Hanya saja ini semua bisa dilakukan tanpa adanya panitia yang mengawasi."
"Kamu tahu ... aku tidak pernah setuju dengan rencana ini. Aku tidak ingin kehilanganmu juga, Amaran."
Amaran tersenyum tipis, menarik tangan Lio dan mengelusnya lembut. "Menyenangkan bisa berjuang bersama seseorang yang dipenuhi ambisi sepertimu. Kamu benar-benar orang dengan tekad yang besar, Lio. Aku harap, dengan mengeluarkan semua keberanianku saat ini, aku bisa mengembalikan tekadmu lagi."
"Jangan sekarang, tolong." Lio sedikit mendekati Amaran, benar-benar menggenggam tangan itu.
Amaran adalah teman pertama yang ia temui di sini--bersama Darren. Dia yang telah lama ini menemani Lio, tentu saja, Lio tidak bisa santai begitu saja melihat Amaran harus gugur dan meninggalkannya. Lio memang sempat merasa kesal, dan dia merasakan gejolak luar biasa itu setelah bertarung dengan John bersama Brielle.
Bukan ini yang Lio inginkan. Dia memang ingin berjuang untuk terus melangkah dan menghancurkan Rafael yang memiliki rencana di dalam rencana busuk. Namun, bukan dengan orang lain, termasuk perjuangan Amaran yang mungkin akan selalu membekas di hatinya. Entah juga, Lio harus berpisah dengan siapa lagi setelah ini.
Mungkin dengan seseorang.
"AMARAN!"
Lio tersentak, Darren dengan cepat memberikan tatapan tidak percaya kepada dua orang di hadapannya. Mata Darren benar-benar terkejut, dengan cepat dia mendorong reruntuhan yang menghalangi Amaran. Meskipun mustahil karena reruntuhan itu lempeng nan berat yang hanya bisa disingkirkan dengan pengangkat, bukan pendorong.
"Ah bangsat, apa yang kamu lakukan! Cepat bantu!" Lio tetap diam, apalagi tangannya digenggam erat oleh Amaran, gadis itu enggan untuk membiarkan Lio membantu Darren yang bersusah payah menyelamatkannya, karena menurut Amaran semua itu mustahil.

KAMU SEDANG MEMBACA
MAKE A PLOT
FantasySebuah karya telah dijadikan sebagai bahan kompetisi di awal tahun. Semua orang yang mengikutinya adalah orang-orang yang berkeinginan menjadi seorang penulis luar biasa. Tanpa mereka tahu jika kompetisi yang mereka alami bukan hanya sebuah kompetis...