42. Dua Kubu (11)

1 0 0
                                        

Keesokan harinya, masih di malam hari, karena tidak perlu ada yang harus diceritakan di siang hari yang sepi ini. Hanya ada keheningan di seluruh pelosok rumah. Bahkan, ada beberapa orang yang menolak untuk membuka matanya, lebih memilih terus tertidur di tengah-tengah kedamaian yang akan pecah sebentar lagi.

Salah satunya adalah Lio, yang dari semalam sebelumnya telah menutup mata. Sama seperti saat itu, dia tetap bergeming di dalam tidurnya, enggan untuk melihat keadaan dunia saat ini.

Beberapa orang disibukkan dengan tugas yang hanya perlu mengamati dan mencari rencana. Amaran dan Darren ada di sana, setiap saat berdiskusi bersama Rafael yang terus mengandalkan mereka. Tidak terlalu banyak komunikasi, mereka hanya berbicara, kemudian mengerjakan tugas yang diberikan pemimpin mereka--Rafael.

Darren dan Amaran juga, tidak terus saling menyapa. Ruangan kerja mereka berbeda. Darren memikirkan rencana mereka bersama tim lain, sedangkan Amaran mengamati kubu Arth dengan Lew dan beberapa pengamat lainnya.

Kembali ke malam hari yang sunyi. Semuanya beristirahat untuk menyiapkan rencana di beberapa hari ke depan. Mereka tertidur lelap, sebagian lagi hanya mengobrol santai di ruang utama, bersama dengan Rafael yang terus mengawasi mereka.

"Fane, kamu belum tertidur?"

Fane tersentak kala dirinya melangkah keluar kamar. Matanya yang tampak sayu karena mengantuk ia tahan agar tidak terlihat gerak-geriknya oleh Rafael yang berhasil memperhatikannya dari kamar paling ujung.

"Aku belum mengantuk," jawab Fane, tentu saja hanya kebohongan. Fane malas tidur, bukan tidak merasa kantuknya. Fane selalu takut untuk menutup mata, kemudian dia harus menyambut hari esok yang akan terus maju hingga konflik puncak dari babak ini.

Fane selalu takut untuk melihatnya, sudah dua kali dia mendapatkan kejadian yang tidak diinginkan sebelum babak berlanjut.

"Tidurlah, anak kecil harus memiliki jam tidur yang baik." Salah satu orang tua di sana berujar, membuat Fane hanya mengangguk lalu melangkah pelan ke arah dapur. "Dasar anak-anak, dinasehati malah seperti itu."

Rafael tertawa kecil. "Tidak apa-apa, terkadang mereka juga menginginkan waktu yang berharga selain menyia-nyiakannya dengan tidur."

Yang lain ikut tertawa mendengar balasan Rafael. Namun, jauh di dalam tatapan mata Rafael, lelaki itu tetap melirik ke arah dapur. Sedikit khawatir dengan apa yang ia lihat dari tindakan Fane.

Fane lagi-lagi terkejut, melihat sosok lain yang diam di dekat meja makan, mengaduk-aduk sebuah gelas berukuran besar yang berisi kopi dengan tempo super lambat.

Itu Darren, tampaknya sudah tertidur sambil bergerak. Lelaki itu masih belum sepenuhnya sembuh, tetapi kemarin dia memaksa untuk terus menjalankan tugasnya daripada diam bagaikan beban di atas tempat tidur. Katanya, Darren masih dapat membuka mata, jadi dia mampu untuk terus beraktivitas.

Namun, stamina lelaki itu tampaknya berkurang. Bagaimana kecerdasannya dalam berpikir juga terdengar menurun. Sekarang pun, Darren enggan untuk tertidur di atas kasur dan lebih memilih melanjutkan tugasnya ditemani sebuah kopi, tapi tetap saja, lelaki itu mengantuk berat.

Fane menggeleng-gelengkan kepalanya, membuka kulkas dari rumah Rafael. Tenang, tingkah laku masih tindakan yang cukup sopan, karena Rafael sendiri menyuruh mereka menyiapkan makanan atau minuman sendiri di rumahnya ini. Mengatakan bahwa rumah ini adalah markas mereka bersama-sama.

Fane menguap pelan, meraih sebuah bungkus kopi yang terletak di bagian paling belakang dari makanan lainnya. Matanya mulai bergerak, naik-turun untuk menahan kantuk luar biasa itu. Fane menyita sedikit waktunya untuk membuat segelas kopi yang biasanya dikonsumsi orang dewasa, tetapi katanya kopi ini dapat mencegah kantuk beberapa kali lipat.

MAKE A PLOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang