Alesia menahan napasnya, sejenak dia merasakan sesuatu yang mengganggu hidung, membuatnya terdiam untuk mempersilakan sesuatu keluar dari mulutnya.
Suara itu cukup keras, nyaris membuat orang-orang di dalam ruangan itu menoleh ke arahnya.
"God bless you."
Alesia memalingkan pandangannya. Tidak sengaja dia melihat seseorang yang berdiri di sampingnya, tengah menenteng sesuatu.
"Kamu? Dengan semua benda-benda itu...." Gadis itu beranjak dari tempatnya, membuka pelindung kepala yang saat ini ia pakai, lantas menatap lekat-lekat seseorang yang masih diam dengan wajah datar.
"Katakanlah pada Rafael, aku sudah tidak ingin ikut campur lagi." Dia, tersenyum pahit. "Biarkanlah Rafael bertindak dengan keluarga satu namanya, suatu saat dia benar-benar akan membangkitkan semuanya."
Alesia menggeleng. "Tidak, Rafael tidak seperti itu. Kamu percaya saja, ya? Jangan pergi ke mana pun, kumohon."
"Akan ada pertikaian yang lebih besar di babak ke empat nanti." Namun, orang itu segera berbalik, sebelum dia pamit kepada Alesia, kepalanya menoleh sedikit, melirik gadis itu dengan tatapan sendu. "Jaga semua yang ada di sekitarmu."
"Aku telah datang kemari untuk bertemu denganmu, tetapi kamu justru...."
"Bersabarlah, Alesia. Kita tidak akan pernah berpisah. Omong-omong jangan katakan kepada siapa pun jika aku pergi, jaga rahasia kita, ya?" Orang itu melambaikan tangannya, kemudian melanjutkan langkah sampai dia keluar dari gedung tersebut.
Alesia berdecak. "Padahal aku kemari benar-benar untuk menemaninya."
"Dia pasti akan datang lagi."
Alesia menoleh, melihat seorang lelaki tinggi seusia Rafael. "Kak Alesia."
"Kamu? Claes?"
Benar, Claes dengan tubuh orang lain itu mengangkat kedua bahunya. "Dia datang kemari karena dendam, dia keluar juga akan membawa dendam. Kira-kira kata itu yang pernah aku dapatkan dari Kakak."
"Kamu tidak akan menghadangnya?" tanya Alesia, menatap pintu gedung yang perlahan ditutup oleh seseorang.
"Aku hanya seorang bocah, Paman juga mengatakan hal itu."
Claes berbalik, mengangkat sebuah besi berukuran besar yang ada di belakang Alesia. Dia berjalan ke arah kerumunan orang di sana, melihat teknologi yang tengah mereka buat di tengah-tengah masalah yang sedang Rafael timbulkan.
Alesia sendiri tidak berpikir sama. Rafael, sang genius yang pasti akan membawa harapan untuk para peserta—karakter yang telah ia kuasai. Bahkan, secercah harapan, pembuatan kendaraan aneh ini juga berasal dari ide Rafael.
Namun, kenapa lelaki itu selalu mendapatkan kebencian? Bahkan dari seseorang yang sangat dekat dengan Alesia.
Alesia sendiri tidak tahu harus melakukan apa. Dia menghormati Rafael lebih dari apa pun, karena balas budi yang begitu besar akan selalu ada dalam pikirannya.
"Berhentilah melamun, kamu harus kembali bekerja. Kita kekurangan besi lagi," ujar seorang pria bertubuh besar yang baru saja memeriksa sambil melewatinya.
"Ah iya, maaf...."
Alesia menoleh ke arah pintu gedung. Menatap nanar jalan keluar itu.
Apakah keputusan dia sudah benar?
* * *
"Karena kalian hanyalah orang-orang bodoh yang memaksakan ambisi!"

KAMU SEDANG MEMBACA
MAKE A PLOT
FantasySebuah karya telah dijadikan sebagai bahan kompetisi di awal tahun. Semua orang yang mengikutinya adalah orang-orang yang berkeinginan menjadi seorang penulis luar biasa. Tanpa mereka tahu jika kompetisi yang mereka alami bukan hanya sebuah kompetis...