38. Dua Kubu (7)

0 1 0
                                    

Kaki itu berhenti di tengah-tengah koridor sebuah bangunan yang cukup luas, tampaknya bangunan ini terlihat seperti kantor daripada tempat singgah untuk sebagian orang.

Ah, tapi itu sama sekali tidak penting. Darren hanya bisa diam, berdiri di luasnya salah satu lorong yang terhubung dengan koridor. Lorong ini memiliki sesuatu yang menutupinya dari atas, membuat secercah cahaya pun tidak diizinkan masuk untuk menyapa ruangan.

Begitu gelap dan sedikit lembap, pasalnya Darren dapat mendengar setetes demi setetes air yang entah keluar dari mana. Karena pencahayaan yang minim, dia hanya bisa memicingkan matanya, mencoba meraba tanah-tanah yang akan ia injak dengan kaki-kakinya.

"Lio?!"

Tentu saja, karena Lio berpisah dengannya.

Bagian belakang kepalanya terasa sangat pusing membuat badannya sedikit sempoyongan. Apa memang separah itu kondisinya? Padahal Darren sudah bersiap-siap saat itu, tetapi semuanya terasa kurang.

Aneh, dia bukan berada di tempat yang seharusnya ia tuju. Darren justru melihat sebuah alat yang agak asing dalam ingatannya, kemudian lorong ini, sama sekali tidak pernah Darren temukan di bangunan sebelumnya, di mana orang-orang itu sibuk mengembangkan alat pembantu kompetisi bernama pill itu.

"Apa ini besi-besi?" Tangan Darren bergerak, menyentuh alat-alat tersebut dengan hati-hati, karena dia yakin akan ada beberapa yang mungkin saja dapat melukainya. "Aku sama sekali tidak melihat orang-orang itu, bahkan ketika datang kemari...."

Darren menggelengkan kepala dengan cepat, menepis semua pikiran yang mencoba mengalihkan perasaannya.

"Lio, yang terpenting anak itu. Ke mana dia?" gumam Darren, berdecak sebelum matanya melirik ke sekitar, sama sekali tidak melihat apa pun di lorong yang sepi ini.

Jika hendak kembali pun, sedikit sulit menemukan jalan keluar. Darren sudah melangkah sampai ke dalam lorong, penuh nuansa gelap gulita seperti ini, mana bisa dia menemukan jalan itu dengan mudah?

"Hei, aku pernah melihatmu sebelumnya."

Darren menoleh ke belakang. Matanya sedikit terbuka, tiba-tiba sebuah cahaya datang dari orang tersebut. Lelaki dengan rambut berwarna perak berantakan, mata tampak begitu tajam, dan wajah itu sangat asing dalam pandangan Darren.

Apa dia orang asing?

Namun, Darren juga merasa pernah melihat orang itu.

"Sialan, apa kamu yang pernah membawa temanku saat itu?" Darren mengangkat satu alisnya, sedikit melangkah mundur untuk mewaspadai penyerangan.

Seseorang yang terlihat menggunakan jubah tebal itu hanya diam, menatap Darren dengan ekspresi bingung. Lentera yang ada di tangan lelaki itu ditaruh di atas tanah, kemudian mata tajamnya terlihat sedang bersiap-siap. Wajahnya penuh rasa kesal, Darren bisa melihat suasana hatinya yang sedang tidak baik.

Sayangnya, Darren sama seperti itu. Lelaki itu tidak membawa apa pun, senjata saja dia tidak tahu pergi kemana, tetapi dia meyakinkan dirinya sendiri. Tangan kanannya merogoh saku celana, kemudian ia genggam erat-erat pill miliknya.

"Kamu, yang mencuri target pengendalianku, 'kan?"

Kimura Rei, tersenyum miring, seolah tidak tahu dia hanya mengangkat kedua bahu, enggan untuk menjawab.

"Eh...." Rei semakin menyunggingkan senyum kala dia mengerti dengan apa yang dikatakan Darren. "Sepertinya kita cocok, ya? Aku tidak menduga jika Lio memiliki seseorang yang punya banyak potensi sepertimu, pandai sekali dia memilih kawan."

"Maksudmu?"

"Kalau dipikir-pikir, aku juga hebat." Rei tertawa pelan. "Kita sama-sama memiliki kemampuan aksi."

MAKE A PLOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang