Ganiel keluar dari tempat pedagang kaki lima di depan rumah sakit. Saat sampai di lobi dia melihat Raka, lalu menghampiri cowok berpakaian acak-acakan itu.
Raka menoleh saat merasakan ada yang menepuk pundaknya, langsung saja dia berhenti dan menatap Ganiel serius. "Dimana Dinar? Dia kenapa?"
"Kecelakaan."
Jder!
Raka membeku bagai tersambar petir. "K-kecelakaan? Terus gimana keadaannya? Parah gak? Gak sampe sekarat, kan?!"
"Jawab, sialan!" kesal Raka karena tidak lekas mendapat jawaban.
"Pelan, ini rs," Ganiel menjeda. "Tadi lagi diperiksa."
"Yaudah, dimana tempatnya?" Raka menyusul Ganiel yang memimpin jalan. Dia menyejajarkan langkahnya.
Ganiel berhenti di depan ruangan bernomor 136, lalu dia membukanya. Mereka masuk dan tidak mendapati siapapun.
Raka bingung. Menatap Ganiel yang tampak kalang kabut, mencari sesuatu di kamar mandi dan tempat lain. "Mana? Bener gak ini ruangannya?"
"Bener, di sini."
"Ini gak ada siapa-siapa ..." Mendadak Raka merasa hatinya tidak nyaman. Disaat seperti ini dia harus tetap tenang. Raka meyakinkan dirinya sendiri agar tetap berkepala dingin seperti yang diajarkan Kinan dan Ragil. "Kita cari di luar. Kemungkinan kalaupun kabur, pasti belum jauh."
Ganiel mengangguk, mereka bersamaan mencari di luar. Bertanya pada segelintir orang yang mereka temui. Jangan heran kalau keadaan di sana sepi, karena ini memang sudah sangat larut.
Sementara di tempat Dinar. Cowok itu tengah berada di atap rumah sakit. Berdiri diam menikmati sapuan angin malam yang membuatnya merinding di atas sini. Suasana disekitarnya terasa mencekam.
"Maksud kamu apa? Kenapa tiba-tiba minta putus? Aku ada salah? Plis, ngomong apa salah aku." Dinar menggenggam tangan pacarnya dan menatapnya memelas. Dia bingung juga patah hati karena tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba pacarnya meminta putus. Seingatnya dia tidak melakukan kesalahan apapun. Dinar sudah sangat cinta pada pasangannya itu.
"Maaf. Tapi aku gak kuat lagi. Gak cuma aku ... orangtuaku juga diteror habis-habisan sama adek kamu." Cewek itu melepas paksa pegangan tangan Dinar. "Sekali lagi maaf. Ini semua karna adek kamu. Aku gak mau karna masalah hubungan kita dan adek kamu berdampak ke orangtuaku juga."
"Maaf. Nanti biar aku marahin dia, tapi plis jangan putus. Aku mohon, by." Dinar terisak hebat. Saat ini mereka berada di taman kota yang masih sepi.
Cewek itu mengelap air mata Dinar. "Cengeng banget. Aku gak bisa, Dinar. Maaf..." Cewek itu pergi meninggalkan Dinar yang terdiam.
"Ini semua salah dia. Liat aja nanti," gumam Dinar penuh dendam. Selalu seperti ini. Setiap hubungan yang dia jalin, semua gagal hanya karena adiknya yang gila itu.
Dua hari semenjak hubungannya berakhir. Hari ini, hari kepulangan sang adik. Dinar benar-benar menantikan hari ini. Jam menunjukkan pukul satu siang, yang artinya sebentar lagi pesawat yang dinaiki Kinan landing. Dinar bersiap-siap untuk menjemput sang adik.
Memakan waktu cukup lama karena jalanan macet, akhirnya dia sampai di bandara. Dia terus berjalan mencari keberadaan sang adik. Sampai dia melihat Kinan yang sedang berbincang lalu melambaikan tangan kepada temannya.
Dinar mendekat. Melihat wajah adiknya itu membuatnya semakin naik pitam. Hatinya dipenuhi kabut amarah, matanya berkilat kebencian. Dia menepuk pundak Kinan dengan berusaha mengontrol emosi untuk saat ini. Wajahnya semakin datar saat Kinan memeluknya dengan erat menyampaikan rasa rindu yang mendalam. Tapi tidak untuk Dinar, menurutnya itu hanya acting belaka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Brotherhood
Teen FictionProses Revisi Hanya memceritakan tentang kehidupan sehari-hari Kinan yang memiliki tingkat kemalasan dan kelesuan akut. Tidur, bermain, makan. 3 combo yang menyenangkan.