Day 43 : Reunion

42 3 0
                                    

"Ngapain masih di sini?" tanya Kinan setelah keluar dari ruangan dokter dan melihat masih ada remaja yang menabraknya.

"Cuma mau mastiin ini beneran Ina? Ina kami?"

Kinan mendengus, menatap malas cowok itu. Selanjutnya, dia melangkah pergi seraya berkata, "Ya."

"Jadi bener..." lirih cowok itu percaya tidak percaya. Dia melangkah menyusul Kinan dan meraih tangannya agar berhenti.

Kinan berbalik. Dia sudah lelah dan ingin cepat-cepat tidur. Tidak mengertikah remaja itu?

"Apa lagi?"

"Kalo lo emang Ina, please ... temui Gabi sekarang. Dia lagi sakit."

Kinan menghela napas dalam-dalam. Jika menolak, dia sangat yakin urusannya akan menjadi sangat panjang. "Sebentar."

Cowok itu mengangguk dengan sunggingan tipis. Mereka berjalan beriringan menuju kamar seseorang bernama Gabi itu.

Sesampainya di kamar yang dituju, cowok itu membuka pintu, masuk diikuti Kinan di belakang.

"Lama banget. Ngapain aja kamu?" tanya seorang gadis sepantaran Kinan dan cowok itu.

"Ini..." Cowok itu bergeser. Menampilkan Kinan yang bewajah datar.

Gadis itu terkejut. "Ina? I-ni Ina? Hahaha nggak mungkin, kan ya?"

Kinan berjalan mendekat, mendekat pada seseorang yang terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Untuk beberapa saat dia menatap wajah tampan yang pucat itu, lalu dia meraih tangan tanpa infusnya. Tangan satunya lagi dia gunakan untuk mengusap lembut kepala anak itu.

"Gabi," panggil Kinan.

Gabi melenguh, mengerjabkan matanya beberapa kali menyesuaikan cahaya yang masuk. Dia menoleh karena merasa ada yang mengelus rambutnya dan menggenggam tangannya. Matanya membulat sempurna melihat siapa pelakunya. Tanpa aba-aba dia bangun dan langsung memeluk Kinan erat. "Ina."

Kinan mengelus punggung Gabi yang menangis. "Kenapa sakit?"

Sejujurnya mereka kaget dengan perubahan sifat Kinan yang jauh berbeda dengan dulu. Namun, setidaknya mereka bertemu kembali setelah sekian lama. Mereka sangat rindu Kinan.

Gabi hanya menggeleng sebagai jawaban. Dia masih terlalu kaget membuat otak pintarnya susah mencerna.

"Ina ... mau peluk juga boleh?" tanya cowok yang menabrak Kinan tadi ragu-ragu.

Kinan melepaskan pelukannya pada Gabi. Sedikit memiringkan tubuhnya—satu tangannya masih memeluk pinggang Gabi— dan berkata, "Sini."

Cowok itu tersenyum lebar lalu menubruk tubuh Kinan. Memeluknya erat seolah jika dia lepaskan maka Kinan akan hilang lagi. Air matanya lolos begitu saja mewakili ucapan kangen yang sangat teramat dia rasakan.

Satu cewek tadi juga ikut serta. Di ruangan itu dengan tiba-tiba terisi suara tangis ketiga remaja itu.

"Sstt ... udah nangisnya."

Mereka menggeleng.

"Kangen, hiks... Kangen Inaaa." Tala mengusap air matanya di pipi menggunakan punggung tangannya.

Mereka bertiga seperti bocah sekarang ini.

"Lepas, sesek," ujar Kinan. Mereka melepaskan pelukan, kecuali Gabi.

Kinan melihat jam dinding. Ini sudah hampir tengah hari, dia harus segera kembali ke kamar rawat Raka. Kinan melepas paksa tangan Gabi. "Aku pergi dulu."

"Enggak!" Gabi berteriak sambil menahan tangan Kinan yang baru selangkah berjalan. Tangisnya makin menjadi. "Gak boleh pergi."

"Aku sibuk."

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang