Day 60 : First Meet

33 1 0
                                        

"Kamu yakin, Raka?"

"Saya yakin, Tante."

"Kamu udah mikirin ini mateng-mateng?"

"Udah, Om. Saya udah mikirin ini dan mutusin buat hidup mandiri mulai sekarang."

Jawaban mantab dari Raka membuat pasutri itu cemas.

"Bisa beri kami alasan kenapa kamu mau pergi? Tante gak tenang mikirin kamu yang mau hidup mandiri, sedangkan dari kecil kamu udah kayak anak Tante sendiri."

Raka tepekur. Lalu tersenyum simpul. "Makasih Tante, Om. Raka cuma mau nyoba hidup mandiri kok. Raka udah terlalu banyak ngrepotin kalian, mungkin ini waktunya buat Raka mandiri."

"Kamu sama sekali gak ngrepotin kami. Malahan Tante lebih seneng kamu tinggal disini lebih lama, syukur-syukur kamu mau tante angkat jadi anak Tante."

"Iya, Raka. Dinar juga pasti lebih seneng. Kalau keseharian kamu masih kurang, Om jamin deh nanti Om tambahin uang jajan kamu asal kamu gak pergi."

"Hahaha, bisa aja Om." Raka tertawa, tetapi, air matanya sudah menggenang. Semenjak fakta yang diketahuinya kemarin, Raka memikirkannya semalaman. Akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri, tanpa ketergantungan pada siapapun. Tanpa merepotkan siapapun lagi.

Dan pagi ini, di depan rumah keluarga Anggara—tepatnya di teras—Raka berpamitan. Yang Raka herankan adalah ternyata tidak semudah yang dia bayangkan. Ini terlalu sulit dan berat. Ada rasa tidak rela ketika dia mengucapkan ingin hidup mandiri dalam dirinya. Apalagi melihat Dinar yang menangis meraung-raung.

"Raka udah punya uang jajan sendiri kok. Makasih untuk semuanya. Makasih udah mau ngerawat Raka sampe sebesar ini.

Agil, makasih udah mau jadi sahabat gue." Raka menatap Ragil yang sedang manahan Dinar. "Adek..." Raka langsung bungkam saat Kinan menatapnya seperti terakhir kali saat di balkon.

Bukan salah Kinan, memang salahnya saja yang cacat. Memangnya siapa yang mau dengan orang yang terlahir prematur sepertinya?

"Raka pamit Om, Tante. Sekali lagi makasih, ya."

Kedua pasutri itu menatap Raka tidak rela dengan saling menggenggam tangan, tetapi mau bagaimanapun itu sudah keputusan Raka, mereka tidak ingin ikut campur lebih lagi.

"RAKAA... ENGGAAAK. RAKA GAK BOLEH PERGII... HUAAA..." Dinar teriak-teriak, berontak dicekalan Ragil, air matanya pun mengalir deras.

"AKAAA..."

Deg. Raka tidak tega sebenarnya, tapi dia tahu, sekali saja menengok ke belakang maka dia tidak akan bisa hidup mandiri seperti yang dia tekadkan. Dia akan kembali bersama mereka lagi.

Air matanya meluruh tanpa bisa dicegah lagi. Meremat baju bagian dadanya, terus berjalan sampai menghilang di balik gerbang. Rasanya masih sangat disayangkan dia harus berpisah untuk waktu yang entah berapa lama.

"Masuk."

Raka memasuki mobil yang terparkir di depan rumah Kinan setelah sang sopir menyuruhnya masuk.

Kamis ini mereka semua membolos, tak terkecuali Ragil yang sudah siap dengan seragam sekolahnya.

🍪🍪

Tak terasa sudah tiga hari Raka menjauh. Di sekolah, Raka bergabung dengan circle lain. Ketika di kelas pun Raka duduk di bangku urutan kedua dari depan dekat tembok, jika Dinar duduk di pojok kiri maka Raka duduk di bagian kanan sama-sama mepet tembok.

Ketika berpapasan di jalan, Raka seolah-olah tidak melihat dan terus berjalan.

Dinar galau. Dia takut ketemu Raka. Dia ingin pindah sekolah saja rasanya. Setiap melihat wajah Raka, Dinar tidak tahan untuk tidak menangis. Dadanya berdegup kencang dan terasa sesak. Cowok itu ingin menerjang tubuh Raka, tapi apa boleh buat? Raka selalu bersikap tidak peduli ketika melihatnya.

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang