Day 75 : Huru Hara Keluarga Anggara

28 2 0
                                    

Aldrich berhasil masuk ke dalam rumah meskipun menjadi lemas total. Tubuhnya bergetar hebat, bibirnya pucat, kelopak matanya tertutup.

"Sampai," ucap Kinan yang senantiasa menggenggam tangan sang kakak. Dia menatap orang suruhannya dan berterima kasih. Kemudian dia melanjutkan langkahnya. "Buka matamu, kak. All is fine, right?"

Perlahan Aldrich membuka matanya, dia menatap Kinan yang juga tengah menatapnya. Keduanya berhenti saat melihat Ragil berdiri di dekat tangga.

Kinan melepaskan tautan tangannya, menghampiri Ragil yang menonton dirinya dan sang kakak. Kedua tangan Kinan bergerak menyentuh pipi Ragil, dia sedikit berjinjit untuk mencapai dahi Ragil. Satu kecupan di dahi dan satu kecupan di bibir. Masih menangkup pipi Ragil, Kinan berkata, "Jangan diem aja. Minta maaf."

Kinan tidak membiarkan Ragil membuka suara, dia langsung pergi dari sana dengan menggenggam tangan Aldrich lagi. Sesampainya di kamar, Aldrich duduk di sisi ranjang. Dengan tenaganya yang sedikit, Aldrich meraih tangan Kinan yang akan pergi. "Kakak gak dapet?"

"Apa?" tanya Kinan bingung.

"Smack."

Kinan memutar bola matanya malas. Menatap tidak tertarik sang kakak dan melenggang meninggalkan Aldrich ke kamar mandi setelah berucap, "Gak ada buat kakak."

Aldrich murung. Dia merebahkan tubuhnya, menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya lalu merubah posisinya menjadi meringkuk. Kenapa hanya dia yang tidak dapat?

Kinan bercermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Matanya memincing kala melihat siluet berpawakan laki-laki di belakangnya. Kinan berkedip sekali dan siluet itu hilang. Kinan berbalik membelakangi cermin, kedua tangannya masih memegang wastafel. Dia mendongak sambil memejamkan mata, setelah beberapa detik dia menarik napas dalam dan menghembuskan perlahan lewat mulut. Batinnya berkata, "Seperti yang kamu katakan biasanya, Kinan. It's fine! Calm down."

Kinan membuka matanya, keluar kamar mandi untuk melihat Aldrich. Dia ingin membuat Aldrich menangis. Kinan ingin tahu akan seperti apa wajah Aldrich ketika menangis. Pasti sangat manis.

Bukannya menghampiri sang kakak, Kinan malah duduk di sofa dan menyalakan tv. Rencana pertamanya; akan mengabaikan Aldrich.

Selama kurang lebih 30 menit, Kinan masih berada diposisi duduk yang melelahkan. Dia berniat untuk rebahan karena pikirnya rencananya gagal. Gerakannya terhenti saat Aldrich secara tiba-tiba duduk lesehan dibawah dan menyembunyikan wajahnya di sela kaki Kinan. Kinan tersenyum miring.

"Awas." Kinan mengangkat kepala Aldrich agar dirinya bisa merebahkan tubuh. Saat itu juga terlihat wajah sembab Aldrich. Wajah datar Kinan tidak menampilkan reaksi apapun.

"Kenapa? Kakak ada salah?" tanya Aldrich sedih.

Kinan mengendikkan bahu. Menarik kakinya ke atas bersiap akan merebahkan tubuhnya. Namun, lagi-lagi Aldrich menghentikannya.

"Jawab, princess!" Aldrich banjir air mata.

Kinan jadi tidak tega. Dia mengelap air mata Aldrich, juga wajahnya yang penuh keringat. "Gak ada."

Kinan memegang pinggang Aldrich untuk mengajaknya naik ke atas sofa. Didetik itu juga tubuh Aldrich mendadak menegang. Pipi dan telinganya memerah. Kinan berkedip sekali. Ini ... Ini!

Kinan tersenyum aneh. Jari-jari lentiknya meraba keatas dan kebawah, lalu dia masukkan kedalam baju. Jari telunjuk dan jari tengahnya berkeliaran ke atas.

Aldrich mencengkram sofa, menunduk sembari menggigit bibir bawahnya dan memejamkan mata menahan lenguhan yang akan keluar. Sial itu titik sensitifnya. "Princess, stop..."

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang