"Ke kamar lagi, yuk." ajak Kinan diakhir tawanya. Ragil mengangguk, lalu bergandengan menuju ke kamar Adi.
Masih dengan senyum yang mengembang, Ragil melirik Kinan. Rasanya senang sekali mendengar suara tawa puas Kinan yang telah lama tidak dia dengar.
"Cantik," gumam Ragil tidak sengaja.
"Kinan tahu Kinan cantik."
"Pd banget kamu." Ragil kembali tersenyum. Perutnya seakan-akan ada yang menggelitik, suasana hatinya berbunga bunga. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain berada di sisi Kinan, bercanda, tertawa, bertengkar bersama cewek itu.
Benar kata Kinan, hati dan pikirannya sudah dipenuhi oleh cewek itu. Sial. Kalau begini rasanya semakin tidak rela Kinan pergi menjauh darinya.
Ragil sedikit terperanjat saat perutnya disikut. Dia menatap sang pelaku yang tampak kesal. "Kenap—"
"Malah bengong. Bang Adi gak ada!"
Disaat itu juga Ragil sadar jika dirinya sudah sampai di kamar Adi. Matanya menelisik sekitar, benar saja Adi tidak ada di kasurnya. Kakinya melangkah maju tiga ayunan, sampai matanya terhenti pada pintu kamar mandi yang terbuka. "Kamar mandi, dek."
Kinan yang tengah membuka lemari menoleh. Setengah berlari menyusul Ragil. Tiba-tiba dia merasa bodoh, gara-gara kelakuan aneh Dinar tadi Kinan jadi membuka lemari. Siapa tahu juga ngumpet di lemari, pikir Kinan.
Kinan berhenti di belakang Ragil, menatap Adi yang tampak takut melihat Ragil. Dia bergegas mendekat saat Adi membekap mulutnya sendiri akan muntah.
"Kenapa? Kenapa, hm?" Kinan menopang tubuh lemas Adi yang meluruh ke lantai, mengelap keringat di wajahnya dengan lembut. Jika benar, dugaan Kinan Adi mengalami panic attack.
Napas Adi memburu, dia bergerak cemas—menjambaki rambut dan menggigiti kuku— matanya yang bergerak gelisah terfokus pada manik coklat gelap milik Kinan.
"Abang, tarik napas..." Kinan memeragakan. "Buang..."
Adi mengikuti masih menggigiti kuku jempolnya ketakutan.
"Sekali lagi. Tarik napas ... Buang..."
"Lagi." tuntun Kinan sembari mengelus lembut punggung Adi. "Ssttt, gakpapa, gakpapa."
Kinan mendekap kepala Adi menenangkan. Adi yang sudah cukup tenang, perlahan memejamkan mata. Kepalanya seperti berputar-putar, tubuhnya sangat lemas.
"Abang, angkatin. Kinan ambil minum dulu buat bang Adi." Kinan menyenderkan Adi pada tembok setelah mendapat anggukan dari Ragil. "Sebentar, ya."
Cup.
Sebelum pergi Kinan menyempatkan diri mencium pelipis Adi.
Ragil mendekat, berjongkok di dekat Adi. Saat tangannya akan meraih, Adi lebih dulu menghindar. Sebenarnya sama sekali tidak berpindah tempat, tetapi gerakan lemah Adi mengisyaratkan bahwa dia tidak mau disentuh Ragil. "Di, sorry. Tadi gue kelepasan. Maaf, ya?"
Adi membuka matanya sedikit, untuk melihat apakah ekspresi Ragil sama dengan nada suaranya yang tulus meminta maaf. Adi kembali memejamkan matanya karena percuma, semua yang dilihatnya berbayang tidak jelas. Seluruh tubuhnya mati rasa.
"Yang gue lakuin ke elo tadi emang udah kelewatan. Gak masalah kalo lo gak mau maafin gue, karna emang salah gue. Tapi please, mau ya gue bantu keluar? Gue gak mau lo tambah sakit."
Melihat kondisi Adi, sepertinya dia tidak kuat untuk berjalan. Tanpa persetujuan Adi, Ragil membopong Adi ala bridal style. Ragil dapat merasakan sapuan napas Adi menembus kaosnya. Panas sekali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Brotherhood
Roman pour AdolescentsProses Revisi Hanya memceritakan tentang kehidupan sehari-hari Kinan yang memiliki tingkat kemalasan dan kelesuan akut. Tidur, bermain, makan. 3 combo yang menyenangkan.