Day 67 : Adi dan Kinan

24 1 0
                                    

Sudah hampir 15 menit Adi tidak sadarkan diri. Bibirnya terlihat pucat pasi. Sialnya, tidak ada satu orang pun di rumahnya.

Mata Adi bergerak-gerak, lalu perlahan kelopak matanya terangkat. Beberapa kali berkedip guna menyesuaikan cahaya yang masuk. Tiba-tiba rasa pening menyerang, spontan dia memegangi kepalanya sembari meringis sakit.

Dengan kesusahan, Adi berdiri dengan berpegangan pada wastafel. Astaga, ternyata dia belum mematikan krannya. Segera Adi mematikan dengan tangan yang gemetar. Ototnya terasa lemas sekali.

Setelah mematikan, Adi berjalan gontai berencana menuju ke kamarnya. Matanya terasa berat, wajahnya panas tetapi dia kedinginan, sepertinya dia demam. Adi menghela napas panjang.

Entah kenapa, dia merasa disetiap langkahnya energinya seolah terserap banyak. Tiba di ruang tengah, Adi terhuyung dan berpegangan pada sofa. Napasnya terengah-engah.

Adi menyandar pada belakang sofa, dia benar-benar sudah tidak kuat untuk jalan. Padahal kamarnya sudah di depan mata. Sedikit lagi.

Disaat-saat hampir menyerah, Adi mendengar suara langkah kaki menuruni tangga. Siapa? Bukankah rumahnya hanya ada dia sendiri?

"Bang! Abang dimana?"

Itu suara Kinan!

Adi senang, senang sekali. Namun, ketika ingin membalas suaranya tidak mau keluar. Astaga, sebegitu terkuras tenaganya kah? Sampai hanya mau berbicara pun tidak kuat.

"Ad–dek..." Suara Adi seperti berbisik.

Kinan yang hampir sampai di ruang tengah, kaget melihat Adi seperti orang tidak terurus. Buru-buru dia menghampiri dan berjongkok di dekatnya.

"Abang kenapa?" Kinan menyentuh kepala Adi, lalu menyentuh dahi karena merasa ada yang tidak beres. Dan benar saja, panas.

"Panas. Ayo ke kamar!" Kinan membantu Adi untuk berdiri, tetapi sepertinya Adi benar-benar sudah diambang batasnya.

Adi menggeleng. "Adek..."

Kinan sungguh bingung sekarang, sebab Adi yang malah menangis. Dia membawa kepala Adi ke pundaknya lalu mengelus kepalanya lembut. "Kenapa hm? Adek di sini."

"Pusing~"

"Jangan nangis makanya." Kinan mengusap air mata Adi. "Udah makan?"

Adi mengangguk lemah. Matanya terpejam karena merasa semakin pusing ketika menerima cahaya. "Dingin..."

"Iya, kita ke kamar." Kinan memberi jeda. "Abang beneran gak kuat jalan?"

Tidak ada jawaban dari Adi.

"Bang." Panggil Kinan sembari menepuk-nepuk pelan pipi Adi. "Abang, hei."

Sepertinya Adi tertidur. Secepat itu?

Kinan menghela napas, apa boleh buat? Dia harus menggendong Adi. Semoga saja dia kuat. Beruntungnya kamar Adi sudah dekat. Kinan mulai menggendong Adi dalam satu ancang-ancang.

Gotcha! Adi tidak seberat yang dia bayangkan.

Kinan mulai melangkah menuju kamar Adi. Sesampainya di kamar, Kinan menurunkan Adi dengan hati-hati, menyelimutinya sampai sebatas dada. Selanjutnya, dia ke dapur mengambil air hangat untuk mengompres.

Sepeninggalan Kinan, Adi terisak dalam kondisi terpejam. Tangannya mencengkeram selimut kuat, peluh membasahi wajahnya, terlihat sekali gelisah.

Kinan yang baru saja kembali, terkejut. Langsung saja dia mendekat, duduk di pinggir kasur sembari menggenggam tangan cowok itu. Satu tangannya lagi dia gunakan untuk mengelap keringat Adi. "Abang bangun."

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang