"Nghh..."
Matahari menyingsing. Mengintip melalui sela-sela gorden. Memberi secercah penerangan dalam sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat seseorang terbaring di kasur.
Mengedipkan mata beberapa kali guna menyesuaikan sinar yang masuk ke retina. Menoleh, wajah pucatnya mendadak murung.
"Sshh..." Ringisnya sambil memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri ketika dia bergerak untuk duduk. Meneliti sekeliling. Ini kamarnya, pikir cowok itu.
Menerawang kembali kejadian semalam. Ah, dia ingat. Semalam dia sudah membunuh ibunya sendiri.
Kenapa dia sangat yakin sudah membunuhnya padahal tusukan yang dia berikan tidak terlalu dalam? Itu karena pisau yang dia gunakan ada racunnya.
Menyingkap selimut, turun dari ranjang. Baru satu langkah dia oleng. Berpegangan pada meja samping tempat tidur dan kembali memegangi kepalanya yang terasa berputar.
Melanjutkan jalannya, sesekali oleng namun masih bisa menyeimbangkan tubuhnya. Semua yang dia lihat terasa berputar-putar, dan terkadang juga seperti menjadi besar sendiri. Ini halusinasinya atau apa?
Kepalanya sunguh-sungguh pening, tubuhnya lemas sekali. Dia ingat terakhir makan kemarin, itupun hanya dua kali.
Meraih gagang pintu, membuka pintu itu. Suasana terasa sepi, mungkin penghuni yang lain sudah pergi ke sekolah atau mengerjakan kegiatan lain, tebaknya. Karena tadi dia sempat melihat jam dinding dan ternyata sudah menunjukkan pukul delapan pagi.
Dia berencana pergi ke dapur untuk makan. Lagi-lagi dia harus mengurus dirinya sendiri. Tanpa tahu rasa dirawat dan dijaga seorang ibu. Biasanya yang merawatnya ketika sakit hanyalah Vano. Tidak sering, karena sahabatnya itu juga mempunyai urusan sendiri.
Mengangkat kepalanya, samar-samar dia melihat siluet seseorang yang sedang berjalan ke arahnya. Lama-kelamaan orang itu sedikit berlari. Bersamaan dengan tubuhnya yang akan terjatuh, orang itu sampai di depannya dan menahan tubuhnya.
"Lo ngapain di sini?" tanya orang itu dengan nada khawatir.
Suara yang terdengar sangat familiar. "Vano," gumamnya.
"Ya, ini gue."
Mendapat sebuah pesan di ponselnya yang memberitahukan bahwa sang sahabat sakit, dia buru-buru menuju rumah sahabatnya. Dia sangat khawatir, apalagi sahabatnya di rumah sendiri.
Saat sampai dan berjalan menuju kamarnya, dia dikagetkan dengan Dio yang berjalan sempoyongan, wajahnya pucat pasi. Dengan cepat dia pun berlari menghampiri.
"Gak sekolah?"
"Enggak lah. Lo di rumah sendiri, ya kali gue tinggal."
Dio semakin menunduk, meremat baju yang dikenakan Vano. Dia tertegun. Hanya karena dirinya sakit dan di rumah sendiri, sahabatnya rela tidak sekolah demi dirinya.
Rasa takut ditinggalkan semakin menyelimuti dirinya. Bagaimana jadinya jika sahabatnya tahu dia sudah membunuh orang? Apa dia akan marah dan membencinya? Seperti kakaknya, Kinan?
"Heh, mikirin apa hm?"
Dio menggeleng pelan, melepas cengkramannya dan berdiri sendiri.
"Kakak. Kakak di mana?" tanya Dio.
"Di rumah. Kenapa?"
Dio menggeleng lagi.
"Yaudah. Kalo gitu sekarang makan, minum obat terus istirahat."
"Mau kakak," cicit Dio saat Vano akan menuntunnya kembali ke kamar.
"Tunggu aja, nanti juga ke sini."

KAMU SEDANG MEMBACA
Brotherhood
Fiksi RemajaProses Revisi Hanya memceritakan tentang kehidupan sehari-hari Kinan yang memiliki tingkat kemalasan dan kelesuan akut. Tidur, bermain, makan. 3 combo yang menyenangkan.