Day 81 : Party

18 1 0
                                        

Genangan yang bergerak tenang, perlahan menyapu pasir putih lalu menyeretnya ke dalam. Menciptakan suatu suara yang menenangkan bagi sebagian orang dan sedikit menyeramkan bagi orang penakut. Bayangan dari sang rembulan pun terlihat bersinar terang dan bergelombang.

Di pinggir pantai itu, tampak tersusun banyak meja dan kursi. Lampu kerlap-kerlip menghiasi beberapa tempat disana. Ada juga berbagai makanan dan minuman yang tertata rapi. Pun ada sebuah layar proyektor di bagian pojok kanan area pesta.

Pantai itu didesain sedemikian rupa hingga terlihat secantik dan semewah ini.

🍪🍪

"Loh, dek? Kamu belum siap juga?" tanya Anton yang tengah mengulurkan tangannya mengkode agar sang istri mengancingkan lengan bajunya.

"Aku nyusul," jawab Kinan. Cewek itu baru saja dari dapur dan akan kembali ke kamarnya.

"Sama siapa?" giliran Dian yang bertanya. Dia mengancingkan lengan baju yang satu lagi.

"Temen."

"Yaudah. Tapi cepet ya!" ucap Dian.

"Iya."

"Ayo, anak-anak. Kita berangkat," ajak Dian. Raka, Dinar, Ragil, dan pasutri itu berjalan menjauh. Para laki-laki mengenakan setelan jas hitam, pun Dian yang memakai gaun navy. Kinan mengamati mereka sampai hilang di balik pintu. Kemudian, dia naik ke kamarnya dan mulai bersiap-siap.

Sebelumnya, Kinan menyempatkan diri untuk bercermin. Dia memandang wajahnya dipantulan cermin, kedua tangannya dia taruh diatas meja rias.

"I hate you."

🍪🍪

Sesampainya di pantai, mereka disambut oleh beberapa orang asing—penerima tamu.

"Maaf, tuan dan nyonya. Ijinkan kami memeriksa pakaian kalian terlebih dahulu sebelum masuk," ucap salah satu dari para penerima tamu itu dengan sopan.

"Kenapa? Harus banget ya? Lagian kita juga gak bawa yang aneh-aneh," balas Raka sedikit kesal.

"Saya mengerti. Ini hanya untuk keamanan saja."

"Baiklah, silakan!" celetuk Anton memotong Raka yang akan kembali berbicara. Para penerima tamu itu mengangguk dan mulai memeriksa mereka. Untuk Dian, beliau diperiksa oleh seorang wanita.

"Terimakasih. Silakan masuk, maaf sudah menyita waktunya."

"Gakpapa." Dian tersenyum cantik. "Terimaksih."

Mereka berjalan masuk.

"Apaan cuma mau masuk aja pake segala diperiksa. Dipikir kita ini siapa?!" gerutu Raka.

"Ya emang kenapa? Gak masalah, kan?" Ragil menyahuti.

"Iya, sih. Tapi kek ngeselin banget!" sungut Raka. "Dipikir kita mau ngapain dicek-cek segala?!"

"Hush, udah-udah. Itu diliatin," tegur Dian.

Berbagai jenis makanan dan minuman yang tertata rapi bertingkat terlihat menggiurkan. Meja kursi yang ditata sembarang dengan desain sederhana tetapi mewah sudah ditempati beberapa orang. Lampu-lampu berwarna kuning temaram menghiasi area pesta. Sungguh indah sekali.

Mereka mengambil beberapa camilan, lalu Dian dan Anton pamit akan bergabung dengan para orang tua.

"Adek mana ya? Kok lama banget," Raka memulai pembicaraan. Mereka tengah berjalan sembari mencari tempat duduk.

"Sabar. Nanti juga kesini," ucap Ragil.

"Lama! Gue pengen cepet-cepet liat adek. Pasti cantik!" Raka mulai membayangkan bagaimana adiknya nanti. Ekspresi antusias tidak dapat Raka tutupi.

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang