Dua hari setelahnya Kinan sudah diperkenankan pulang, karena yaa kondisinya memang sudah stabil. Bahkan lebih baik lagi.
"Awas bang, bentar." ucap Kinan sambil berusaha melepaskan pelukan Ragil pada lengan tangannya.
"Aaa~ gak mau." Ragil setengah merengek seperti anak kecil dan itu berhasil membuat Kinan terkejut berkali-kali hari ini.
"Kalo abang tiba-tiba tantrum gini, Kinan gak siap," ungkap Kinan. Dia menggaruk pipinya yang memang gatal.
Saat ini mereka tengah berada di atas kasur queen size milik Kinan, cewek itu duduk bersandar dan Ragil yang mendekap erat salah satu tangan Kinan seolah takut ditinggal. Padahal Kinan hanya ingin mengambil komik.
"Dek," panggil Ragil.
"Hm?"
"Adek kenapa diem aja waktu itu? Kenapa gak bales perbuatan cewek sok imut itu?" Ragil mendongak guna melihat reaksi Kinan yang mengangkat sebelah alisnya.
"Siapa bilang gak bales?"
"Buktinya kemarin itu adek gak ngapa-ngapain."
"Hei, diem bukan berarti gak ngapa-ngapain ya. Kinan sengaja buat dia banyak salah dulu." Merasa ada kesempatan, dengan cepat Kinan menarik tangannya dan segera turun dari kasur. Buru-buru Ragil ikut turun dari ranjang dan menyusul Kinan. "Abang gak liat temen abang yang manggil abang ke sana ngevidio?"
Ragil menggeleng di ceruk leher Kinan, tangannya dia lingkarkan ke perut rata si pemalas. Sama sekali tidak terganggu dengan gerakan Kinan yang sibuk memilih-milih buku komik.
"Abang terlalu panik dan marah waktu itu."
"Abang apain dia?"
"Eumm... abang cuma kasih dia sedikit pelajaran kok, maaf ya~" cicit Ragil dengan nada memohon diakhir kalimat.
"Dia cewek, abang. Udah Kinan bilang, kan gak boleh kasar." Kinan mendongak guna mencari komik di rak bagian atas.
"Just a little fucking lesson, sweetie~ My bad," rengek Ragil dengan suaranya yang serak basah dengan dia masih setia dengan posisinya.
Kinan menghela napas, berbalik menghadap Ragil sembari menggenggam tangan anak itu. Manik coklat gelapnya meniti setiap detail wajah Ragil yang menampilkan ekspresi memelas. Kinan tersenyum tipis, merasa lucu. Merasa puas memandangi wajah sang kakak, Kinan mulai kembali membuka suara, "What a lesson?"
"Sedikit karya di tangan, dada, dan dahinya," jawab Ragil dengan polos.
Kinan diam menatap tepat dimanik abu-abu Ragil, berusaha mencari kebohongan sekecil apapun. Namun, hasilnya nihil. Dia kembali melepas napas. Bisa-bisanya!
Cewek itu memilih abai. Dia kembali menghadap sekumpulan buku yang ditata rapi dan melanjutkan kegiatannya. Ragil pun kembali memeluk Kinan dari belakang sembari menyembunyikan wajahnya.
Tidak ada obrolan lagi setelah itu. Kinan kembali ke kasur setelah mengambil buku yang dicarinya dengan Ragil yang masih setia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher dan tangannya yang melingkar.
"Lepasin, bang," decak Kinan kesal. Pergerakannya jadi susah asal Ragil tahu. Namun, Ragil hanya mengerang protes tanpa mengubah posisinya sedikitpun.
"Mending abang nikahin Kinan. Biar abang bisa sepuasnya ngapa-ngapain Kinan," ucap Kinan terlampau santai dan ngawur.
"Maksud dari ngapa-ngapain itu apa? Dan gak, makasih atas tawarannya," tolak Ragil cepat. Kalau menikah dengan pemalas seperti itu, yang semuanya saja dianggap repot, bagaimana nasib anak-anaknya? Ah, tidak tidak, yang ada kewajiban sebagai sepasang pasutri baru tidak terlaksana dan berakhir tidak mempunyai anak-anak yang menggemaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brotherhood
Ficção AdolescenteProses Revisi Hanya memceritakan tentang kehidupan sehari-hari Kinan yang memiliki tingkat kemalasan dan kelesuan akut. Tidur, bermain, makan. 3 combo yang menyenangkan.