Day 72 : Ragil

26 1 0
                                        

"Ekhem," Sekretaris itu berdehem keras mengalihkan perhatian sepasang saudara itu. Didetik itu juga mereka baru menyadari bahwa ada orang lain disana.

"Oh, kamu disini ternyata," ucap Aldrich.

"Siapa?" tanya Kinan.

"Sekretaris kakak."

"Oh." Kinan berdiri dari duduknya. "Aku pergi."

"Tunggu ... Apa kamu atlet bulutangkis?" Perempuan itu membuat Kinan memberhentikan langkahnya.

Kinan menatap perempuan itu lalu menggeleng.

"Tapi wajahmu sangat mirip. Suaranya pun sama."

"Maksudmu apa?" tanya Aldrich menyela Kinan yang akan menjawab.

"Anda tidak tahu? Atlet bulutangkis yang hilang setelah memenangkan lomba internasional sekitar satu tahun lalu?" jelas perempuan itu.

Satu tahun lalu?

"Princess-"

"Kembaranku." Kinan berlalu pergi dengan aura yang tidak bersahabat.

Aldrich tepekur. Jadi Kinan mempunyai kembaran? Kenapa dia baru tahu. Dan kenapa mereka merahasiakannya?

Aldrich tersadar, dia berjalan terburu agar bisa menyusul sang adik yang sudah cukup jauh. "Princess, tunggu."

"Princess!"

Kinan tidak mengindahkan panggilan Aldrich.

"Stop, Kinan! Kamu mau kemana?"

Kinan berhenti tiba-tiba dan menghadap tepat di depan Aldrich. "Kak, jangan ikutin Kinan."

"Kenapa? Kamu belum jawab pertanyaan kakak, Kinan."

"Aku ada urusan." Kinan berbalik dan melanjutkan jalannya. Tetapi baru beberapa langkah dia kembali berhenti. Memutar tubuhnya, berjalan cepat dan langsung memeluk tubuh tegap sang kakak.

"Ada ap-"

"Kak," sela Kinan memotong ucapan terkejut Aldrich.

Aldrich mengangkat Kinan ke gendongan koalanya. Sembari berjalan untuk kembali ke ruang kerjanya, dia bertanya, "Ada apa?"

"Bang Dinar suka perut."

Alis Aldrich berkerut bingung. "Oke...?"

"Bang Raka suka dada. Bang Agil suka leher."

Aldrich diam mendengarkan. Dia tahu adiknya belum selesai berbicara.

"Bang Dinar itu bermuka dua. Di luar dia keliatan dingin, cuek, tapi di rumah dia jadi manja, cengeng, dan sifat bayi lainnya. Makanya dia itu pujaan hati Kinan."

Aldrich baru tahu itu. Ternyata ketika di luar Dinar seperti itu, dia jadi penasaran seperti apa jika dilihat langsung. "Lucu, ya?"

"Hm ... Bang Raka, dia itu selalu senyum di manapun dan sama siapapun. Buaya emang. Mentang-mentang wajahnya manis, pamer sana sini."

Aldrich tertawa kecil mendengar nada kesal ditambah cemburu adiknya. Dia membuka pintu dan langsung mendudukkan diri di kursi kerjanya. Diliriknya sang sekretaris yang ternyata masih di sana-duduk di sofa.

"Hatinya lembut banget, dia terlalu baik buat Kinan. Dibalik senyumnya itu, dia mendam semua sendiri. Benci banget," gerutunya. Kinan tersenyum kecil dan membatin, "Sayang, bentar lagi aku gak bisa liat sifat aslinya."

"Tapi Kinan suka sifatnya saat sama Kinan. Bayi."

Aldrich bergumam panjang menanggapi. Pikirannya menerawang, membayangkan bagaimana ketika Raka yang humoris menjadi 'bayi'.

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang