Kinan kembali ke ruangan tadi untuk mengambil ponselnya yang tertinggal. Saat dia masuk terdengar ponselnya mengalun lagu berbahasa Jepang—dering untuk sebuah panggilan masuk. Kinan mengambil, terpampang nama bang Agil di sana. Kinan buru-buru menerimanya.
"Halo, sweetie," sapa Ragil.
Mendengar nada bicara Ragil—yang bagi orang awam terdengar biasa—, perasaan Kinan jadi gelisah.
"Hm?" balas Kinan sembari kembali berjalan menuju ruangan milik Aldrich.
"I love you."
"Too you."
"Adek tahu, kan abang sayang kamu."
"Sure."
"Abang gak mau pisah dari kamu."
"Hm."
"Jadi, kalo abang minta kamu gak pergi kamu bisa, kan?" tanya Ragil. Lebih tepatnya, pernyataan.
"Abang dimana?"
"Jawab, adek. Iya, kan?" desak Ragil. Dia saat ini berada disuatu ruangan dengan penerangan remang-remang. Manik abu-abunya melirik Raka dan Dinar. Tangan masing-masing dari mereka disatukan dan di ikat ke atas, sehingga mereka bersimpuh di lantai.
"Adek, tolongin kita!!" teriak Raka.
Langkah Kinan terhenti saat itu juga. Benar dugaannya. Ragil menggila.
"Diam Raka!" bentak Ragil.
Mata Kinan menajam, sikapnya menjadi lebih tenang dan menyeramkan. Dia melanjutkan jalannya untuk keluar dari gedung bertingkat itu. "Abang, adek tanya. Abang dimana?"
Ragil menaruh ponselnya disebuah meja. "Kamu belum jawab pertanyaan abang, Kinan." Cowok itu membuka laci meja memilih-milih berbagai jenis senjata tajam di sana. Dan tangannya terhenti pada sebuah pisau kecil yang tajam. Dia mengambil dan membolak-balikannya.
"Denger Kinan. Kinan gak akan kemana-mana, Kinan gak akan pergi dari abang."
"Apa omonganmu itu bisa dipercaya?" Ragil mendekat pada Dinar yang ketakutan. Mengarahkan ujung pisau itu ke pipi Dinar. "Dinar di hadapan abang sekarang."
Saat melewati ruangan sang kakak, Kinan mendengar sesuatu. Sepertinya kakaknya sedang tidak baik-baik saja.
Brak.
Kinan menendang pintu ruangan itu. Mata tajamnya menelisik sekitar, sampai berhenti pada pintu yang tertutup rapat, itu pintu kamar. Kinan melangkah ke sana.
Ragil terdiam sejenak mendengar suara gebrakan pintu. Kemudian dengan penasaran dia bertanya, "Kamu dimana, sweetie?"
"Sweetie?" panggil Ragil lagi karena tidak mendapat jawaban. Sekali lagi Ragil mendengar suara dobrakan keras.
"Bitch," desis Kinan. Dia melihat pemandangan yang membuat emosinya semakin menjadi. Sekretaris kakaknya itu tengah menggagahi Aldrich yang tidak berdaya karena phobianya terhadap hujan. Kancing kemeja atas dibuka dan dasinya dikendurkan.
"Ah, kamu," ucap sekretaris itu santai. Dia kembali menatap Aldrich dengan nafsu. "Lihatlah kakakmu, bukankah dia sangat menggoda saat ketakutan seperti itu?"
"Ya..." jawab Kinan sembari berjalan mendekat pada perempuan itu. "Dan hanya aku yang boleh melihatnya."
Plak.
Satu tamparan keras Kinan berikan pada perempuan itu.
Perempuan itu terkejut sejenak, dia memegangi pipinya yang panas dan lanjut menatap Kinan. "Hei, ayolah. Aku temannya dari kecil. Aku juga mempunyai hak atasnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Brotherhood
Novela JuvenilProses Revisi Hanya memceritakan tentang kehidupan sehari-hari Kinan yang memiliki tingkat kemalasan dan kelesuan akut. Tidur, bermain, makan. 3 combo yang menyenangkan.