"Tumben, sih, Mbak; biasanya juga si Nyonya pake transfer e-banking ke juragan." Seorang bapak-bapak kuli antar menurunkan pintu belakang truk bak dekil, yang berbunyi keriyet nyaring.
"Iya, nih, Pak; maaf, ya; lagi nggak bisa." Sumi memelaskan tampangnya sambil memegang tumpukan lembaran Rupiah merah.
"Ooh." Mulut si kuli angkut membulat. "Error, ya, Mbak? Sering gitu, tuh; sama; di saya juga; jadi sering diomelin istri di kampung. Serba salah, ya, Mbak; ke cabang ngantri lama; pake e-banking lemot nggak jelas; malah kadang diproses juga nggak tembus-tembus. Nelpon customer service juga percuma."
Yee ... dia curhat.
Sumi mengangguk-angguk.
Di saya, sih, 'error' nggak jelas uang siapa di rekening, Pak. Mending pake uang omset, 'kan, jelas dari mana.
Kuli antar tersebut tak punya cukup uang kembalian. Sumi bergegas ke dalam rumah, meninggalkan garasi samping untuk menukarkan uang di warung bakwannya.
Saat melintasi ruang tengah, Sumi melihat Ibu sedang menonton televisi. Ia menelan ludah, dan merapikan kondenya. "Bu, Sumi mau tuker duit ke warung; kegedean."
Ibu bergeming; tak membalas.
Runyam, deh.
Sumi lanjut menuju ke warung.
Di warung, Sumi menukarkan uang tadi dengan lembaran hijau dua puluh ribuan di boks kas. Si Neng, berdiri di sampingnya, sedang mengurusi pembayaran para pembeli.
"Bener kamu masih nggak 'pa-'pa Mbak urusin kiriman dulu? Lumayan rame, nih." Sumi bicara ke Neng sambil tersenyum ramah membalas sapaan para pembeli yang mengerubung di depan meja pembayaran.
Si Neng mengangguk-angguk. "Tenang, Mbak; serahin ke Neng. Lumayan lagi waras, kok, tuh, sore-sore, si Mila 'ama Nur. Lagian, nggak sampe sejam lagi tutup, 'kan?"
"Ya udah; bentaran, ya, Neng." Sumi berbalik ke dalam rumah lagi untuk ke garasi samping.
Si bapak kuli antar tadi sedang berteduh di bawah atap garasi; mengipas-ngipas dirinya dengan tabloid. Bulie-bulir peluh balapan mengaliri kepalanya. "Jakarta makin panas, ya, Mbak?"
"He-eh. Ini, ya, Pak; pas, ya?" Sumi memberikan tumpukan lembaran uang kepadanya.
Ia menghitung uang serahan Sumi. "Pas, Mbak; ini kayak biasa taro teras semua?"
Sumi mengiyakan lalu menyingkir memberi ruang untuk si bapak dan kernetnya memanggul karung-karung kiriman turun dari bak truk pick-up mereka.
Mereka pamit setelah delapan karung putih raksasa dijejerkan di ubin teras; meninggalkan Sumi yang bersiap menyeret satu per satu ke dalam rumah; sendirian ... dalam balutan kebayanya.
Ia berkacak pinggang.
Nasib, deh, kiriman dateng pas Ibu ngambek.
Sumi menghela napas dengan keras.
"Lagi marah?"
Sekujur tubuh Sumi menegang; ia berbalik cepat menghadap pagar.
Jaka tersenyum simpul sambil menyandarkan kedua lengannya di atas pagar. "Marah sama siapé; aku?"
"Eh ...." Lidah Sumi kelu. Suara bariton itu melumpuhkan pikirannya.
Mata Jaka beralih ke karung-karung di belakang Sumi. "Itu apaan? Banyak amat."
"Oh." Sumi melirik ke belakangnya. "Terigu ...." Ia refleks merapikan rambutnya, dan kembali menghadap Jaka.
"Kok bengong gitu, sih? Emangnyé aku lagi ganteng banget, yé?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Bakwan & 3 Men [Romantic Suspense & Thriller - 𝔻𝕌𝕆𝕃𝕆𝔾𝕀]
Romance[𝚅𝚘𝚕. 𝟷 𝙳𝙾𝙽𝙴] Mahasiswi UI, Sumi, dipaksa ibunya pakai kebaya, sanggulan, dan berdandan layaknya ke kondangan enam hari dalam seminggu. Itulah tradisi bisnis bakwan pusaka keluarganya terlepas panasnya Jakarta Timur. Hal yang kerap mengundan...