Langkah Sumi berhenti seketika, mendengar ucapan Bimo. Hanya beberapa meter lagi dari bukaan masuk ruang tamu besar itu.
"Disampein persis? Nggak lupa?" tanya Bimo.
"Nggak. Persis titik komanya," Ruslan meyakinkan. "Berarti, tetep sesuai rencana, nih?" Suara pengacra itu memelan.
"Iya." Nada Bimo ... lain dari biasanya.
Degup jantung Sumi berasa naik ke leher.
Apa maksudnya?
Untungnya, obrolan kedua laki-laki itu netral kembali setelahnya. Sekujur tubuh Sumi meremang ketika ia kembali ke ruang tamu. Dipastikannya untuk tersenyum ramah seakan-akan tak mendengar percakapan tadi, walaupun isi benaknya campur-aduk tidak keruan.
Lidahnya digigit. Apapun itu, nantilah dia cari tahu. Untuk sekarang, tak mungkin dia membahayakan jalan keluar krisis keluarganya.
Tak mungkin.
"Miya." Bimo membalas senyumnya seraya berdiri, melangkah santai menghampirinya. "Udah mau kuanter pulang?"
* * *
"Bener-bener nggak ada jalan lain, Jak," ucap Sumi.
Sabtu siang itu, baru saja Sumi menceritakan duduk perkara utang keluarganya, dan penyelesaiannya kepada Jaka.
Mbah Ti dan Ibu mengunjungi Pasar Mester Jatinegara pagi tadi. Ternyata, keduanya bertemu Jaka di sana, yang lalu mengantarkan pulang.
Dengan selesainya kelumit utang, uang hasil menjual perhiasan dua wanita tercintanya itu tak terpakai. Tiga hari dari sekarang, Mbah Ti harus kembali ke kampung; persis setelah hari pernikahan Sumi.
Selain itu, Ibu ingin menggelar syukuran besok; harus beli banyak bahan makanan. Setidaknya, harus ada acara begitu, menurut Ibu; meskipun mereka tidak mampu menggelar rangkaian komplit persiapan pelepasan calon pengantin wanita, layaknya tradisi Jawa.
Walaupun wedding organizer sewaan Bimo bersikeras menyelenggarakan segala rangkaian itu, keluarga Sumi menolak. Ketiganya pun sepakat berusaha membiayai sendiri acara besok. Sungguh, persiapan menuju pernikahan melelahkan.
Tapi, dia bersyukur Bimo menepati janjinya, bahwa mereka tidak terlalu banyak terekspos orang lain. Bertemu lingkar pertemanannya juga hanya sekali, dalam rangka makan malam bersama di restoran. Canggung; tapi, ternyata mereka baik-baik.
Bahkan, penolakannya akan usulan wedding organizer agar diadakan acara pertunangan besar juga didukung Bimo.
Sungguh ia merasa tidak enakan; karena sepertinya Bimo-lah yang banyak mentoleransi keberatannya akan berbagai hal menuju pernikahan mereka.
Sumi sedang membantu Jaka menurunkan berbagai belanjaan di garasi samping rumah dari minibus rombongannya. Tak banyak yang bisa dia angkut dengan mudah; kebayanya--juga Jaka--tak mengizinkan.
"Aku kaget waktu keluargaku nerima undangannyé." Jaka menenteng dua plastik belanjaan besar. "Kamu tau, heboh semua orang-orang sini?"
"Tau," gumam Sumi, yang merasa mendadak plastik isi kain-kain jahitan ditangannya menjadi berat sekali.
Jangankan penduduk sekitar situ, satu negara pun sudah tahu, mungkin. Daru--seperti tak kunjung lelah--setiap hari mengiriminya tautan-tautan berita daring kolom gosip dan unggahan-unggahan sosial media mengenainya dan Bimo.
Tampaknya, sahabatnya itu menikmati sekali buah dari kelancangannya; menjadi katalis pernikahan Sumi ("Angelica Kembang, Mi! Dia ngomongin elo! Angelica Kembang!").
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Bakwan & 3 Men [Romantic Suspense & Thriller - 𝔻𝕌𝕆𝕃𝕆𝔾𝕀]
Romance[𝚅𝚘𝚕. 𝟷 𝙳𝙾𝙽𝙴] Mahasiswi UI, Sumi, dipaksa ibunya pakai kebaya, sanggulan, dan berdandan layaknya ke kondangan enam hari dalam seminggu. Itulah tradisi bisnis bakwan pusaka keluarganya terlepas panasnya Jakarta Timur. Hal yang kerap mengundan...