"Non, jangan dipaksain." Andi lalu mengingatkan Sumi untuk fokus pada pernapasan lagi.
"Tadi pas cerita tentang Mbakyu nggak kenapa-kenapa," celetuk Sumi setelah normal kembali. "Kenapa sekarang? Pas cerita Bapak?"
"Beri waktu buat badanmu; mungkin malam ini hanya sanggup ngeproses satu. Cerita bapakmu bisa lain waktu," saran Andi.
Lah, emang mau ngajak jalan lagi?
"Apa mungkin selama ini, belum pernah kamu ungkapin isi hatimu gini?" Andi menghadapnya kembali. "Belum pernah bicarain ke orang lain?"
Kok, dia tau?
"He-eh. Saya pendam aja; bahkan nggak mau nginget-nginget. Waktu abis Mbakyu dikubur, Bapak-Ibu juga nggak pernah ngebahas." Pedih dada Sumi mengingat masa kelam keluarga setelah kakaknya meninggal. Lalu, semakin suram selepas ayahnya menyusul.
"Apa mungkin kamu merasa ... bersalah?" Andi mencermati raut muka gadis itu.
Lagi; Sumi terpana.
Setajam ini, dia?
"Betul?"
Sumi mengangguk perlahan seraya memutar-mutarkan pergelangan kakinya. "Sampai sekarang, Bang."
"Wajar badanmu begitu, Non. Itu emosi yang kamu kubur selama ini; meluap semua."
"Maksud Abang, 'perasaan'?"
Andi menggeleng. "Kamu tahu, emosi dengan perasaan itu beda?"
"Sama, dong?"
"Dari kacamata psikologi, beda ternyata. Emosi itu sensasi nyata yang kamu rasain di badan sebagai respons ke sesuatu," Andi menerangkan, "kalo perasaan: gimana kamu labelin emosi itu."
"Saya masih nggak ngerti ...." Kening Sumi mengkerut.
"Nih, misal, kamu di keadaan bahaya; ada orang ngejar kamu. Napas kamu memburu dan kamu keringat dingin; itu emosi. Otak kamu lalu melabeli itu sebagai perasaan 'takut'."
"Oh, gitu. Nggak ngasal, nih, Bang?"
"Nggak." Lesung pipit Andi tampil. "Coba aja kamu cari dan baca."
"Bang Andi psikolog?"
Andi bergumam tawa sambil memandang jauh ke depan. Matanya memantulkan temaram kuning lampu taman. "Ah, kamu. Kalau saya psikolog, masa saya ngojol?"
Mereka tertawa ringan.
"Bang."
"Iya?"
"Anu, makasih udah dengerin saya; sama udah jagain juga tadi," ucap Sumi. Senyum tulus terukir di wajahnya.
"Sama-sama, Non." Lelaki itu membalas pandangannya. "Kan, tadi udah janji sama nenekmu."
Cengar-cengir mereka, teringat interaksi dengan Mbah Ti awal malam tadi.
"Kamu gimana rasanya?" Andi memiringkan kepalanya. "Entengan habis cerita?"
Sumi mengiyakan.
Bener, sih, legaan. Tapi, kenapa segitu gampangnya gua cerita ke dia?
"Saya juga mau terima kasih ke kamu, Non," celetuk Andi.
"Hah? Buat apa?"
Lelaki itu terdiam sebentar menatapnya. "Udah percaya sama saya; sharing masa lalu kamu."
Si gadis terdiam.
Lantunan gitar akustik dihantarkan semilir angin dari arah bundaran besar tengah taman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Bakwan & 3 Men [Romantic Suspense & Thriller - 𝔻𝕌𝕆𝕃𝕆𝔾𝕀]
Romantik[𝚅𝚘𝚕. 𝟷 𝙳𝙾𝙽𝙴] Mahasiswi UI, Sumi, dipaksa ibunya pakai kebaya, sanggulan, dan berdandan layaknya ke kondangan enam hari dalam seminggu. Itulah tradisi bisnis bakwan pusaka keluarganya terlepas panasnya Jakarta Timur. Hal yang kerap mengundan...