"Tolong kali ini dihitung, Pak. Saya nggak mau ada masalah di kemudian hari," pinta Sumi.
Tjahjo mengambil pulpen di atas meja tamu marmernya. "Nggak perlu." Dia membubuhkan paraf pada tabel di agenda kecil yang tertanggal hari ini.
"Kalau begitu, saya pamit dulu." Sumi membereskan agenda dan pulpen itu ke dalam tas cangklongnya, lalu berdiri cepat dari kursi tamu. Seolah takut samakan merah bahan kulit itu akan luntur pada rok panjangnya. "Akhir bulan depan saya ke sini lagi."
"Kamu pernah lihat foto eyang putrimu waktu muda?" Bibir kehitaman dan hidung Tjahjo mengembuskan asap buangan rokok kreteknya.
Raut wajah Sumi dipaksakan tetap netral. Napasnya berubah pendek-pendek semenjak awal bertamu; ketika bau asap rokok bergabung dengan aroma ketiak beracun si bangkot. "Belom pernah," jawabnya.
Tjahjo membisu sejenak; mulutnya membentuk seringai senyuman yang memampangkan dua gigi seri emasnya. "Persis sepertimu. Wajah cantiknya, tingginya, suaranya, dan ...." Pandangan kakek itu turun ke dada Sumi.
Perut Sumi melintir.
Keluar! Sekarang!
"Maaf, Pak, saya sudah ditunggu di warung. Permisi." Harapan Sumi, Tjahjo tidak menangkap gemetar suaranya.
"Nikahlah sama Mas, Sumi. Masa nggak mau?" Jemari Tjahjo mengetuk-ngetuk rokoknya di pinggiran senderan tangan sofa; menjatuhkan abunya ke lantai. "Nggak akan pernah kesusahan kamu; banyak duit. Kamu mau dibelikan apa? Minta sama Mas."
Astaga .... Malu Pak, sama uban!
"Maaf, Pak, saya belom ada kepikir nikah." Gadis itu mencengkeram tali tas cangklongnya, yang semakin digunakan sebagai perisai menutupi tubuhnya. Di hatinya berkecamuk waswas dan dongkol di waktu yang bersamaan.
Jangan salah bertindak atau bicara, batinnya. Bahaya. Pilihan awetan ular kobra dan harimau sebagai pajangan ruang tamu itu pasti menyiratkan watak asli pemiliknya. "Sekarang saya permisi pulang."
Kakek itu menghela napas panjang. "Kus!" Ada nada jengkel di suaranya kini.
Muncul si laki-laki bercodet dari pintu masuk ruang tamu. "Bos?"
Tjahjo menyuruhnya mengawal Sumi baik-baik hingga ke pagar seperti sebelumnya.
"Kamu ingat, kan, saya akan hapus lunas utang ibumu kalau kamu jadi istri saya?" tanya Tjahjo ketika Sumi hampir melewati pintu.
Gadis itu berhenti; menengok. "Kami masih sanggup bayar, Pak. Walau nyicil."
"Memangnya kamu yakin, duitmu akan ngalir lancar terus?"
"Rejeki saya Allah yang atur, Pak." Sumi menelan ganjalan emosinya. "Bagian saya ada di usaha. Permisi." Dengan itu, bergegas ia melintasi teras menuju pagar, sembari berdoa tidak ada perkataanya yang menyinggung.
Setelah berjalan melewati satu belokan, dan cukup menghirup udara segar, Sumi mengecek ponselnya. Dia teringat kejadian kali terakhir dia pulang dari situ.
Hatinya mencelos. Tidak ada notifikasi apapun.
Langkahnya kini setengah diseret. Sejentik kecemasan akan kembali menghilangnya orang itu mengusiknya. Begitu larut dia dalam pikiran, hingga hampir bertubrukan jika sepasang lengan tidak menghentikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Bakwan & 3 Men [Romantic Suspense & Thriller - 𝔻𝕌𝕆𝕃𝕆𝔾𝕀]
Romance[𝚅𝚘𝚕. 𝟷 𝙳𝙾𝙽𝙴] Mahasiswi UI, Sumi, dipaksa ibunya pakai kebaya, sanggulan, dan berdandan layaknya ke kondangan enam hari dalam seminggu. Itulah tradisi bisnis bakwan pusaka keluarganya terlepas panasnya Jakarta Timur. Hal yang kerap mengundan...