"Jaka," sapa Sumi dengan perut kian memulas.
Senyum lelaki itu mengembang perlahan. "Hei. Belanjé?"
"He-eh." Telapak tangan Sumi mendingin. "Kamu?"
"Samé. Biasé, bareng tim dapur buat nanti acara pondok." Mata Jaka menangkap Mbah Ti yang melongok dari belakang Sumi; alis tebalnya sontak terangkat. "Lho ...."
"Eh ..., Nak Joko!" Mbah Ti, sumringah sekali, maju mengulurkan lengannya ke Jaka.
Jaka, tersenyum lebar, mencium tangan sesepuh itu sebelum membungkuk membiarkan wanita itu memeluknya.
"Coba mundur, Mbah lihat." Mbah Ti berdecak-decak. "Duh, duh; manglingi kamu sekarang." Ia mematutnya dari kepalanya yang berkopiah, hingga badan kekarnya yang bersetelan pangsi. "Pendekar?"
(bikin pangling)Jaka tergelak. "Ah, Nyai bisa ajé."
"Lha, emang iya. Gagah men, to, Sum? Mana tinggi, tambah guwanteng." Mbah Ti menoleh ke Sumi yang mematung. "Iki, nih, suami impian. Ya, to, Sum?"
(Gagah banget, 'kan; Ini)Sekalian aja kubur gua hidup-hidup ....
Sumi mengalihkan mata ketika mendapati Jaka mengamatinya.
Panas sekali pipinya, terutama setelah teringat interaksi terakhirnya dengan pria itu beberapa hari silam. Kok, bisa-bisanya dia seberani itu? Bagaimana dia harus menghadapinya sekarang?
"Sehat, Nyai?" suara bariton yang menggetarkan hati itu bertanya.
"He-eh, sehat," jawab Mbah Ti. "Orangtuamu gimana, Nak? Masih sehat semua?"
"Iyé, Nyai, alhamdulillah." Mata dingin Jaka menghangat oleh senyumannya.
Melihat mereka mengobrol, Sumi menyibukkan dirinya mencermati udang-udang segar penjual di sampingnya. Ditanyanya harga udang peci kecil; jawabannya membuatnya melongo.
Gimana harga udang peci besar?? Boro-boro kepiting ....
"Banyak amat, Sum."
Berdiri bulu kuduk Sumi menyadari Jaka kini persis di belakangnya.
"Sini." Tangan Jaka turun meraih plastik-plastik tentengan Sumi.
"Eh, eh, nggak usah; aku bisa." Sumi menggeser kedua tangannya menghindari. "Jak, aku bisa, sih. Jak!"
"Lupa lagi, manggilnya gimané?" Suara Jaka, selain merendah, dipelankan seolah agar hanya gadis itu yang mendengar.
Jumpalitan, lah, hati Sumi; bertatapan dengannya. Yah, mana nyalinya tempo hari?
"Hmm?" Lelaki itu tersenyum miring. "Perlu kuingetin?"
Ah, lagi-lagi .... Kenapa dia mesti seganteng ini, sih??
Sumi menelan ludah. "Nggak ..., Abang."
Lelaki itu menahan pandangannya sesaat. "Jangan lupa lagi." Ia kembali membungkuk meraih kantong-kantong belanjaan.
Senggolan jemari Jaka di tangan Sumi ketika mengambil tentengannya meremangkan bulu-bulu lengannya. Boro-boro mau menghindar, perhatian gadis itu terpusat pada wajahnya yang hanya berjarak sejengkal lebih sedikit dari kepala Jaka.
"Aku suka," ujar Jaka, "kamu manggil begitu."
Bisa apalagi Sumi selain terpana? Badannya lemas, seperti siap melumer ke dalam jeruji lubang saluran air di bawah kakinya.
Jaka lanjut menggenggam tali tas karung plastik besar di bahu Sumi. "Aku yang bawa," tegasnya. Ia pikul ke bahunya seakan ringan sekali. Seluruh tentengan plastik pun dijinjingnya dengan sebelah tangan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Bakwan & 3 Men [Romantic Suspense & Thriller - 𝔻𝕌𝕆𝕃𝕆𝔾𝕀]
Storie d'amore[𝚅𝚘𝚕. 𝟷 𝙳𝙾𝙽𝙴] Mahasiswi UI, Sumi, dipaksa ibunya pakai kebaya, sanggulan, dan berdandan layaknya ke kondangan enam hari dalam seminggu. Itulah tradisi bisnis bakwan pusaka keluarganya terlepas panasnya Jakarta Timur. Hal yang kerap mengundan...