Foto dari Neng menampakkan selembar kertas putih; di atasnya tercetak dua foto dan barisan kata. Kata-kata yang membuat Sumi berkeringat dingin.
Apa-apaan??
Muka warung bakwannya ialah foto pertama, terlihat diambil siang hari saat ramai pembeli. Foto kedua menunjukkan salah satu tampah berisi aneka bakwan. Di antara keduanya terketik tulisan:
Awas warung bakwan terkenal pakai penglaris supaya nagih!!! Makhluk gaib ludahin saos minyak goreng tiap bakwan!!!
Segera Sumi menelepon Neng kembali, menanyakan di mana ditemukannya kertas itu.
"Disebar dimana-mana Mbak; tiap depan rumah orang ada, kecuali warung kita. Tadi satu pembeli bilang, pas subuh di mesjid udah ada."
Jantung Sumi terjun bebas. "Udah, cuekin aja, Neng. Belom tentu orang percaya; kan, kita udah lama banget jualan."
"Tapi, Mbak, ini ... yang beli dikit banget dari pagi. Baru tiga orang; duanya pesenan ojol, Mbak."
Mulas perut Sumi. Mulutnya mengering. Berarti warga sekitar percaya? Semudah itukah? Padahal sudah jalan empat jam sejak buka; seharusnya sudah lewat tujuh puluh pembeli. "Ibu sama Mbah tau, nggak?"
"Tadi si Mbah ada waktu orang tadi bawaan ini kertas, Mbak. Mungkin Nyonya juga 'dah tau. Si Mbah barusan nyuruh cukup satu wajan aja yang siap goreng; terus nunggu hampir habis baru ngadon lagi."
Strategi itu disetujui Sumi. Ia membasahi bibirnya. "Nggak 'pa-'pa, Neng. Yang penting kita sangkal tapi tetep ramah kalo ada yang nanya. Mana ada kita pake gituan.
"Namanya orang usaha, ada aja halangannya, 'kan? Nanti Mbak usahain izin pulang cepet. Kita doa semoga ini sepi cuma sementara aja." ujar Sumi menenangkan, juga bagi dirinya sendiri. Sebab, otaknya mulai mengkalkulasi besaran kasar penurunan omset hari ini.
Tidak mungkin belum sampai ke telinga Ibu. Rasanya, beliau urung mengabarinya khawatir menganggu magangnya.
"Kenapa, Mi?" tanya Daru yang sedari tadi menyimak. Keramaian kantin karyawan mulai berkurang menjelang usainya istirahat makan siang.
Sumi menunjukkan foto selebaran itu, dan menjelaskan singkat.
"Parah banget." Daru bergeleng-geleng; menyeruput jus alpukatnya. "Manusia bisa segini jahatnya. Saingan lo, apa? Atau orang iri?"
"Sekitaran situ yang mirip nggak ada, Ru. Kalo iri ... nggak tau, deh." Sumi memijat pelipisnya.
Sebetulnya, dia ada dugaan akan siapa dalang dibalik fitnah ini. Tetapi, pertanyaan Daru memaksanya mengakui kemungkinan lain.
Dipandangnya bekal nasi ayamnya yang baru setengah tersantap. Hilang sudah selera makannya.
Benaknya sibuk melasso naluri kuat batinnya untuk mengadu pada seseorang, yang nomornya tak lagi dimilikinya.
Dia yang dulu selalu diandalkannya di saat seperti ini; yang selalu bisa menenangkannya dengan perspektif dan solusinya.
Ah, benar kata Mbah Ti: rindu itu menyakitkan. Seakan ada lubang menganga di hatinya; darinya, pedih menyebar lagi ke sepenjuru raga. Sia-sia sudah usahanya mengubur semua itu.
Lebih dari seminggu berlalu sejak terakhir kali mereka berbicara.
Kini, sudah tak mungkin lagi.
* * *
Dengan geram, Sumi meremukkan selebaran fitnah yang barusan disentaknya dari tiang listrik kompleks permukimannya. Tersisa sobekan atas kertas yang terlakban pada tempelan iklan sedot WC. Ini adalah salinan kelima yang ditemuinya. Di kaca papan jadwal kereta depan stasiun saja tadi ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Bakwan & 3 Men [Romantic Suspense & Thriller - 𝔻𝕌𝕆𝕃𝕆𝔾𝕀]
Romance[𝚅𝚘𝚕. 𝟷 𝙳𝙾𝙽𝙴] Mahasiswi UI, Sumi, dipaksa ibunya pakai kebaya, sanggulan, dan berdandan layaknya ke kondangan enam hari dalam seminggu. Itulah tradisi bisnis bakwan pusaka keluarganya terlepas panasnya Jakarta Timur. Hal yang kerap mengundan...