A/N - Maaf lagi, nih, masih sakit ditambah ngurus keluarga yang ketularan 🤧. Makasih ya, udah sabar nunggu sehari.
- Kahala -
_____________"Mi, kok gini lagi, sih??"
Sumi menghela napas seraya memutar kursi kantornya menghadap Daru. Dibongkarnya lagi ikatan dasi yang kini berantakan. Untuk ketiga kalinya pagi itu, dipasangnya kembali sambil mengajarkan sahabatnya.
"Udah, jangan dibongkar lagi. Nanti aja di rumah latihannya! Sigap, dong," tegurnya, disambut manyun Daru.
Seorang mahasiswi di kiri Daru cekikikan menyaksikan mereka.
Pintu ruang rapat dibuka dari luar. Masuklah dua orang laki-laki bersetelan jas diikuti wanita muda berpenampilan selaras. Sumi menelan ludah teringat ekstrim opininya kala terakhir bertemu dua dari mereka saat wawancara dua minggu lalu.
Pelitur gelap meja rapat panjang itu memantaskan kenecisan ketiganya setelah mereka duduk di seberang.
Pak Edi, Presiden Buana Prasta Consulting, membuka sesi pengenalan singkat. Pria paruh baya itu menyambut ketiga peserta magang dengan hangat; menyampaikan ekspektasinya akan pembelajaran yang mereka bisa peroleh selama sembilan minggu berikutnya.
"Jadi, Mbak ...," Pak Edi mengintip kertas di tangannya. "Leona, kamu ikut langsung di bawah proyek saya." Beliau menginstruksikan si mahasiswi untuk membuntuti karyawati di sampingnya setelah sesi berakhir.
"Mas ...," Pak Edi mengecek kertas tadi lagi. "Daru, dan Mbak ... Sumi, kalian masuk proyek Pak Bimo."
Jantung Sumi terjun bebas. Diliriknya Bimo yang berusaha tak diacuhkannya sedari tadi. Lelaki itu tersenyum kecil menangkap pandangannya.
Hatinya mencelos.
Nasib.
Sesi diakhiri. Pak Edi meninggalkan ruangan bersama karyawati dan mahasiswi satunya. Daru izin ke toilet dengan terburu-buru.
Tingallah Sumi bersama Bimo.
"Miya." Tak menunggu lama untuk Bimo menyapanya.
"'Sumi'," koreksi si gadis.
Bimo tertawa kecil dan bersandar di kursinya. "Oke. Sumi. I want to apologize (Saya mau minta maaf)."
Sumi mengernyit. "Untuk ...?"
"Nyinggung kamu terakhir kita ngomong. Di lobi hotel."
Tentu saja Sumi ingat. "Nggak masalah, Pak Bimo, sa--"
"'Bimo'." Gantian Bimo membetulkan.
"Pak Bimo."
"'Bimo'."
"Pak Bimo," ulang Sumi dengan penekanan. Bibirnya dikembangkan paksa menjadi senyuman sopan. "Saya paham opini dan prinsip orang macam-macam. Perasaan saya bagaimana, tidak relevan."
"Oke. But, call me 'Bimo'."
(Tapi, panggil saya)"Nggak bisa, Pak; maaf."
"Saya aja ikutin request kamu tadi."
"Saya cuma ikuti konvensi standar dunia kerja." Sumi memiringkan kepala. "Bukankah saya harus lebih ... realistis tentang itu, Pak?" Sungguh obrolan tak berfaedah, pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Bakwan & 3 Men [Romantic Suspense & Thriller - 𝔻𝕌𝕆𝕃𝕆𝔾𝕀]
Roman d'amour[𝚅𝚘𝚕. 𝟷 𝙳𝙾𝙽𝙴] Mahasiswi UI, Sumi, dipaksa ibunya pakai kebaya, sanggulan, dan berdandan layaknya ke kondangan enam hari dalam seminggu. Itulah tradisi bisnis bakwan pusaka keluarganya terlepas panasnya Jakarta Timur. Hal yang kerap mengundan...