VOL. [1] - 24 - Tiga Mangkok

61 5 0
                                    

Sudah sebulan berlalu sejak malam uji resep itu. Kini, Sumi menjalani libur sebelum semester genap dimulai. Sedikit lega; kesehariannya bisa fokus ke warung tanpa urusan kelas dan berbagai tugas kuliah.

Otaknya bekerja keras untuk optimisasi profit, dan pencarian sumber uang tambahan.

Setelah memikirkan matang-matang, ia berkonsultasi dengan Ibu dan Mbah Ti perihal pilihan semester akhirnya. Sekarang, mantap keputusannya mengambil jalur magang.

Begitu disebutnya besaran potensi uang masuk dari posisi magang di Buana Prasta Consulting, kedua wanita tersebut langsung mendukungnya tanpa keraguan.

Prospek pelunasan utang semakin terang.

Untungnya, selama tiga tahunan terakhir, Sumi rajin mengambil semester pendek untuk menarik mata kuliah-mata kuliah berikutnya. Sehingga, semester akhir yang akan datang ia hanya perlu mengurus magang.

Senangnya ia, bahwa pilihannya didukung penuh oleh kedua wanita senior itu. Tetapi, di sisi lain, ia risau.

Besarnya bayaran yang ditawarkan perusahaan itu membuat heboh mahasiswa-mahasiswi program studinya. Setiap hari, ada saja dia mendengar mereka membicarakan hal itu di kampus. Sama sepertinya, tak sedikit yang berubah keputusan dari skripsi ke magang.

Siapa yang tidak tergoda? Norma gaji fresh graduate 'mahasiswa baru lulus' S1 Jakarta saja tidak mencapai segitu. Dua setengah kali UMR pun baru basis insentifnya! Ditambah biaya transpor dan makan di atas itu, dan bonus hasil proyek di ujungnya.

Semalam, Sumi membuka tautan daring daftar perusahaan yang sudah disetujui program studinya. Buana Prasta Consulting sudah terdaftar.

Banyak posisi yang dibuka?

Tiga.

Yang berminat?

Lebih dari lima puluh, mungkin; dari seratus lima puluh mahasiswa sejurusan angkatannya. Juga ada kemungkinan mahasiswa angkatan lain mendaftar juga.

Sumi memijat pelipisnya.

Diliriknya jam dinding; jam tujuh kurang lima belas malam. Ada waktu sejenak sebelum warung mie dibuka.

Diraihnya ponselnya di meja jati besar warung. Dibukanya lagi tautan ketentuan magang perusahaan itu.

Mereka menyiapkan tiga tahapan eliminatif: psikotes, wawancara grup, wawancara akhir.

Apa bisa lolos?

Telapak tangannya dingin dan lembab; jantungnya berpacu tanpa ampun. Ia buka riwayat panggilan telepon. Jarinya mengetuk nama teratas.

Nada dering beberapa saat .... Diangkat.

"Halo?" sapa suara dalam di seberang sambungan.

"Abang? Sori, lagi bisa ditelepon?"

Lawan bicaranya bergumam tawa "Bisa, kok, kalo sebentar. Kenapa? Kangen, Non?"

"Ih ..., kututup, nih?"

Andi tertawa ringan. "Jangan, dong .... Ada apa?"

"Nggak; gimana itu yang Abang bilang semalem? Yang tentang gunung sama rejeki?"

"Oh, itu. 'Sesuatu yang udah ditakdirin buat kamu, akan nyampe; walaupun ditimpa dua gunung.

"Sebaliknya, kalo nggak ditakdirin buat kamu, nggak akan dapet; walaupun udah dijepit bibir', " tutur Andi.

Sumi melepas napas tertahannya; bahunya melunak.

"Non."

"Iya?"

Miss Bakwan & 3 Men [Romantic Suspense & Thriller - 𝔻𝕌𝕆𝕃𝕆𝔾𝕀]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang