VOL. [2] - 19 - Suapan

43 5 4
                                    

A/N: Saya balik lg. Akhirnya, klga saya wafat minggu lalu .... Yah, bgtulah hidup, kawan 🙂. Sy tekad bangkit, krn sy janji namatin cerita ini.

Kalian jg semangat; tabrak semua rintangan hidup. Kita bisa ✊🏻!

Makasih udah sabar nungguin, ya. Enjoy 💝
- Kahala -
____________

Latar suara restoran seakan senyap ketika Sumi memfokuskan perhatiannya pada Bimo.

Bahu Sumi menyempit tegang. "Kok, kamu nanya gitu ...?"

"Well, aku pengen tahu?" Senyum kalem Bimo masih terpampang.

Bulu-bulu halus di sepanjang lengan Sumi berdiri, lantaran sesuatu pada sikap lelaki itu. "Buat apa?"

"I can't ask that?"
(Nggak boleh nanya itu?)

"Ya, boleh, sih." Sumi membasahi bibir. "Aku nggak paham aja tujuan kamu apa ...."

Bimo tertegun; lenyap senyumnya. "Bukannya jelas?"

Dijawab gelengan cepat.

"Aku cemburu, Sayang."

Sumi mengejap. Cemburu? Dia?

"So," sambung Bimo, "please answer me."
(Jadi, tolong jawab)

Mata tajam itu memancarkan pedih, tapi juga harapan.

"Kamu janji, Miya."

Benar; gilirannya. Bimo sudah menjawabnya tadi begitu diingatkan serupa.

"Aku ... sangsi bisa disebut 'cinta', Bim." Sumi bergumam tawa getir. "Toh, dasarnya kepalsuan; ilusi." Dipandanginya pola ukiran pada gelas minum kristalnya. Masih saja pedih membicarakan ini. "Yang aku rasain saat ini: kecewa; dan ... mungkin bener tebakanmu tadi: benci."

Lelaki yang duduk menyiku darinya itu membisu.

Suaminya.

Satu-satunya keluarganya sekarang.

Sumi mengambil napas dalam; tangan kanannya menjulur perlahan. Ujung jemarinya yang dingin, ragu, menyentuh tangan kiri Bimo; yang langsung membuka dan menggenggamnya.

Hangat. Kehangatan yang nyaman.

Jelas sekali Bimo terpana; kendatipun demikian, suaranya tetap tenang. "Kamu gemetaran lagi, Sayang. Dingin? Bentar, aku minta AC-nya dikecilin." Matanya mencari pelayan terdekat.

Sumi meminta Bimo urung memanggil pelayan, pun menolak tawaran diselimuti jasnya.

Segala penolakan itu membuat alis Bimo menyimpul. "What's wrong, Sayang?"
(Ada apa)

Bibir bawah Sumi kering; dibasahinya. "Anu ...."

Apa yang dirasanya?

Lelah.

Dia lelah.

Menjadi tumpuan, andalan, serta bertopeng senyuman ketegaran; menampilkan dirinya baik-baik saja, meski hati terkoyak dan menjerit-jerit.

Hati yang kini terasa hampa, seakan ada lubang besar; gelap menganga, menyedot sisa-sisa kekuatannya.

Yang ingin dilakukannya adalah meringkuk di sudut dan membatu; terlupakan oleh dunia.

Ia menahan arus memori tentang Mbah dan Ibu dimainkan pikirannya, khawatir terulang lagi serangan panik seperti di Blok M dulu. Melainkan, satu emosi dibiarkannya mendominasi:

Perasaan bersalah yang menggerogotinya.

Menyalahkan diri sendiri sebab gagal melindungi dua wanita tersayang. Seharusnya, dia paksa Ibu menunggu di Gambir, atau langsung menyusulnya dengan kereta. Jika waktu itu bilang ke Bimo pun, pasti langsung disiapkan pesawat di Halim.

Miss Bakwan & 3 Men [Romantic Suspense & Thriller - 𝔻𝕌𝕆𝕃𝕆𝔾𝕀]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang