VOL. [1] - 20 - Abu Bekasan Arang

42 6 0
                                    

Sumi tak yakin bagaimana membalas sapaan Tjahjo.

"Lha, Nduk, kok disapa diem aja?" tanya Ibu. Kontras dengan Sumi, wajahnya begitu sumringah. "Ayo, sini." Tangannya memanggil putrinya.

Sumi setengah menyeret dirinya mendekati Ibu. Tampangnya dipaksakan tetap netral, walau hatinya tidak nyaman. Tubuhnya menegang dengan setiap langkahnya.

Bagaimanapun, orang ini adalah kreditur ibunya; bisa runyam jika sampai tersinggung.

Untungnya, Mbah Ti lagi ke toko mas.

Mata bulat Tjahjo yang menonjol jelalatan menyusuri tubuh Sumi pelan, sebelum balik bertatapan lagi sambil menyeringai senang.

Dasar mesum.

Sepasang gigi seri emas memantulkan sinar matahari.

Buset .... itu sih, bisa nerangin stadion.

"Makin cantik aja. Apa kabar?" Wajah runcing keriput itu menyapanya; jerawut kumis pensil dan jenggot putih kasar bergoyang seiring gerakan dagunya.

"Sehat. Bapak sehat?"

Hidung Sumi seperti tergelitik.

"Ah, jangan 'Bapak', dong. 'Mas' aja, lah," timpal Tjahjo; disusul cekikikan bersama Ibu.

Idih.

Dalam hatinya, Sumi muntah. Di luar, bibirnya berusaha tersenyum sopan.

"Kamu belanja buat warung, ya?" tanya Tjahjo seraya menyisir-nyisir rambut beruban sebahunya yang kasar. "Nggak pakai kiriman?"

Sumi mengkerutkan hidung, seperti ada yang mengganggu.

"Iya, lagi harus hemat," jawab si gadis sekedarnya. Jemari kakinya menggaruk-garuk selopnya gemas. Dia menahan diri tak melihat arlojinya.

"Oh, bagus, dong. Kalo gitu, tak anterin pulang, ya? Banyak pasti belanjaannya." Tjahjo beranjak dari bangku; tampak mencekam dengan bajunya yang serba hitam.

"Lha, belanjaanmu mana, Nduk?" tanya Ibu setelah menelan tegukan terakhir es cendolnya. Ia mengernyit.

"Itu, Bu, tadi--"

"Iya, mana sini. Sekalian Mas mau maen ke rumah, nih," imbuh Tjahjo.

Hah?? Aduh, nggak; nggak. Jangan, deh!

Pria uzur itu melengkungkan punggung dan meregangkan lengan ramping berototnya ke udara.

Kali ini, jelas apa yang sedari tadi mengganggu hidung Sumi:

Aroma ketiak terpekat yang pernah ia baui!

Astaga! Kapan terakhir dia mandi??

Tak heran bangku panjang itu hanya mereka berdua yang menduduki. Juga, tak banyak orang di sekitar mereka berdua. Padahal, antriannya panjang; meja makan di dalam penuh. Tetapi, pembeli sisanya memilih menyantap cendol sambil berdiri.

"Nduk, mana belanjaannya?" Ibu berdiri dengan gelas kosongnya. "Ayo, ah; jangan buat Pak Tjahjo kelamaan nunggu. Rak (nggak) sopan!"

"Anu, Bu." Sumi menahan mual, dan sensasi ceku di kerongkongannya. "Tadi udah dibawa Jaka; dia yang mau anter. Si Mbah udah setuju."

"Jaka?" Tjahjo dan Ibu bertanya bersamaan. "Jaka anaknya Kyai Rohim?" Berbarengan lagi mereka.

"Babé Rohim," jawab suara bariton dari belakang Sumi. "Ayah saya ogah disebut 'kyai'."

Sumi berbalik dan mendapati Mbah Ti bersama Jaka muncul dari keramaian pengunjung pasar. Ada sejuk menyiram hatinya melihat lelaki itu. Ketegangannya mengendur.

Miss Bakwan & 3 Men [Romantic Suspense & Thriller - 𝔻𝕌𝕆𝕃𝕆𝔾𝕀]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang