"Tanya apa?" Sumi memiringkan kepalanya.
Wajah Andi serius. "Memangnya, kamu nggak ada curiga, Non?"
"Curiga gimana?"
"Si Tjahjo itu sengaja buat ibumu tenggelem utang, biar kamu terpaksa nikahin dia buat ganti lunasin?"
Sumi tertegun. Kenapa tak terpikirkan olehnya sebelum ini?
"Masa iya, ada orang yang sampe segitunya, Bang?" Sumi mengernyit.
Lama Andi memandangnya; bibirnya membentuk senyuman tipis. "Baru-baru ini, kan, ada, tuh, kasus seperti itu. Ibu-ibu ngasihin anaknya nikah sama kakek-kakek untuk lunasin utang. Masih SMP kalo nggak salah."
"Hah?" Sumi melongo. "Parah."
"Iya. Maka dari itu, menurut saya kasusmu sama." Andi memasukkan boks batagornya ke plastik. "Kamu bilang, utang dimulai lima tahun yang lalu?"
Sumi mengiyakan.
Andi membuang gelas plastiknya ke tong sampah. "Kapan orang itu mulai bicara mau nikahin kamu?"
Mata Sumi melirik ke kanan atas. "Baru beberapa bulan ini, Bang." Dahinya berkerut. Ia berkedip beberapa kali. "Kok ... aneh, ya?"
Andi tampak menangkap pikiran Sumi. "Kenapa dia ngajaknya baru belakangan ini maksudmu?"
Sumi menyipitkan mata. "Iya. Janggal aja." Minuman es air tebu di genggamannya seakan mendingin.
"Kamu sering ketemu orangnya?" telisik Andi.
Sumi menggeleng. "Jarang, padahal. Palingan lebaran pas ibu ngajak ke open house rumahnya; itu juga cuma sejak Bapak meninggal.
"Terus, paling pas acara tujuh belasan, sama acara-acara lain di kawasan situ. Dia emang selalu jadi donatur paling gede, Bang."
Andi menyimak sambil mereka berjalan pelan menyusuri deretan warung tenda dan gerobak makanan. Semakin malam semakin ramai para pemburu kuliner memadati jalanan.
"Ngobrol langsung aja belom pernah, padahal. Heran, kok getol banget mau kawinin saya." Sumi mendengkus.
Andi menunduk dan bergumam tawa.
Sumi mendelik. "Kok, ketawa? Lucu buatmu, Bang?"
"Nggak. Menarik aja cara pandang kamu."
"Yang mana?"
Andi menoleh. "Masalah kenapa dia getol pengen kawinin kamu; walaupun ngobrol aja belum pernah."
"Ya, aneh, 'kan?"
"Menurut saya, sih, nggak juga." Lelaki itu menyilangkan lengan di dada. "Ada, lho, sebagian orang yang bisa jatuh cinta cuma dari ngeliat doang; nggak mesti sampe kenal segala, apalagi sampe ngobrol."
Alis kanan Sumi naik. "'Jatuh cinta pada pandangan pertama', gitu?" Ia mendengkus tawa. "Itu, sih, sebatas nafsu; cuma pengen memiliki; nggak tepat disebut jatuh cinta menurut saya."
"Masa iya kamu mau pukul rata semua yang begitu hanya karena nafsu?"
"Masa Abang mau bilang jatuh cinta macam itu tulus?"
"Kenapa nggak?"
"Di mana tulusnya?" Suara Sumi menguat. "Sekali lihat langsung 'jatuh cinta'; lebih tepat dibilang suka penampilan orang itu aja. Alias: nafsu."
"Jadi, menurutmu motivasi yang macam itu hanya urusan jasmani?" Andi tersenyum simpul.
"Abis, apalagi alasannya?"
"Ada yang karena mau nyari pasangan jiwanya; teman untuk berbagi senang dan sedihnya hidup berdua."
Sumi berhenti. Ia menghadap dan menatap lurus-lurus lawan bicaranya. "Kalau itu niatannya, bukannya kecocokan justru jadi prioritas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Bakwan & 3 Men [Romantic Suspense & Thriller - 𝔻𝕌𝕆𝕃𝕆𝔾𝕀]
Romance[𝚅𝚘𝚕. 𝟷 𝙳𝙾𝙽𝙴] Mahasiswi UI, Sumi, dipaksa ibunya pakai kebaya, sanggulan, dan berdandan layaknya ke kondangan enam hari dalam seminggu. Itulah tradisi bisnis bakwan pusaka keluarganya terlepas panasnya Jakarta Timur. Hal yang kerap mengundan...