VOL. [1] - 21 - Kesumat Secolek Sambal Manis

68 4 7
                                    

"Tua puwuh wibu kempayiannya, ya, Pu?"

Sumi menahan tawa karena lagi-lagi mendengar ucapan pelat seorang karyawatinya. Ia mengkonfirmasi pesanan seorang wanita di depannya, lalu menyerahkan sobekan kertas nota ke Neng.

"Pezes semhwa, Mba?" tanya Neng yang juga pelat, sambil menelisik kertas itu.

Dijawab anggukan oleh Sumi, sembari mengurus pembeli selanjutnya. Dia sangsi bisa bertahan tidak tertawa hingga waktu tutup sore nanti.

Malangnya para karyawati warung hari Senin itu. Mbah Ti tadi berinisiatif memasakkan makan siang, sekalian uji coba resep bumbu mie pedas yang akan dijual.

Ternyata, tingkat kepedasan yang dinamai nenek itu sebagai paling dasar, sudah cukup untuk membuat Neng dan trio parkit berasap. Kata mereka, lidah sampai terasa tebal dan kebas. Terkecuali si sepuh juru goreng, Mbok Mar, yang tampak tidak terpengaruh. Bahkan, kabarnya meminta tambah.

Sumi mengecek jam dinding; sudah pukul empat sore. Dia takjub; bertahan hampir empat jam efek pedas racikan Mbah Ti. Mungkin, hal ini dapat dijadikan USP, Unique Selling Point, istilah pemasarannya.
(Kekhasan yang ditonjolkan)

'Jaminan bibir jeding'?

'Auto cadel berjam-jam'?

Gimana yang level lima, ya?

Gadis itu senyam-senyum sembari mencatat pesanan selanjutnya. Dadanya mengembang penuh—sejauh yang diizinkan korset kebayanya—memikirkan neneknya yang turut berjuang demi menyelamatkan bisnis bakwan mereka. Ia tidak sendirian.

Sepulang kuliah tadi siang, sebetulnya Sumi ingin mencicipi. Namun, Mbah Ti melarangnya. Nanti malam setelah tutup saja, kilahnya.

Pembeli berikutnya adalah bapak-bapak berjaket ojek daring. Melihatnya, Sumi tersentak.

Astaga ..., sampai lupa! Apa masih sempet??

Secepat mungkin ia mencatat pesanan bapak itu, lalu menyuruh Neng menggantikannya sementara. Sumi bergegas ke meja telepon di sudut warung, dan mengambil ponselnya. Ia mencari sebuah nama di aplikasi Whatsapp, mengetuknya dengan jari telunjuk, lalu cepat-cepat mengetik sebaris pertanyaan dan mengirimnya.

Telepon tua warung menangkap perhatiannya ketika ia menaruh ponselnya kembali.

Sejak petang sepulang dari mal waktu itu, tidak pernah ada lagi teror telepon misterius; baik ke nomor rumah, maupun ke warung.

Siapa pelakunya?

Alasannya?

Jika itu dilakukan pelanggan iseng, mereka tidak akan tahu nomor telepon rumah. Mungkinkah orang yang kenal keluarganya?

Tapi, kenapa diam aja? Apa maunya?

Ditepisnya pikiran tersebut, ia mesti kembali mengambil alih pos pemesanan.

Jakarta sore itu sejuk dengan semilir angin, menjadikan kebaya Sumi relatif nyaman dikenakan. Tetapi, jadi lebih banyak pembeli berdatangan dibandingkan biasanya. Jam-jam sore umumnya keluarga dan anak-anak yang membeli.

"Bisa dateng, ora (nggak)?"

Sumi menengok ke sosok berkebaya Mbah Ti yang menghampirinya pelan, lalu meminta Neng menggantikannya lagi.

"Coba Sumi cek, Mbah." Gadis itu mengambil ponselnya lagi. Ternyata, sudah ada balasan. Ia tersenyum tipis. "Bisa, Mbah."

Wajah kisut Mbah Ti mengangguk-angguk. "Bagus. Biar ada masukan lainnya." Ia memegang dagunya. "Karena, yang paling bawah kurang pedes kalo menurut Mbah," ucapnya sembari kembali menuju pintu rumah.

Miss Bakwan & 3 Men [Romantic Suspense & Thriller - 𝔻𝕌𝕆𝕃𝕆𝔾𝕀]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang