🍁 60. Nostalgia

638 73 79
                                    

Pertengahan Desember, 1619.

Dayang Bong keluar dari tempat istirahatnya sambil meregangkan badan ke kanan dan ke kiri. Hari masih pagi ketika ia keluar dari kamarnya dan ternyata langit masih sedikit gelap. Musim dingin telah tiba meski salju belum turun di pertengahan bulan ini. Tapi suhu udara menurun cukup drastis dibanding awal bulan.

Sedikit menguap, Dayang Bong membuka kembali pintu kamarnya dan berdecak melihat Jungeun yang masih bergelung di atas futon. Mungkin karena cuaca dan suhu yang dingin sehingga Jungeun masih sangat betah tidur padahal seharusnya dia sudah bangun.

"Jungeun-a, bangunlah. Ini bukan istana, kita harus menyiapkan banyak hal."

Jungeun hanya mengeluh pelan, tapi matanya mulai terbuka. Setelah memastikan Jungeun bangun, Dayang Bong keluar lagi menuju dapur yang letaknya terpisah dari tempatnya sekarang.

Saat keluar kamar, udara berhembus cukup pelan. Sangat menyegarkan bisa menikmati udara luar istana ketika musim dingin seperti ini. Ia jauh lebih bersemangat karena bisa melihat berbagai hal.

Sekarang Dayang Bong maupun Jungeun tidak berada di istana. Kemarin sore Selir Han meminta untuk pergi keluar istana dan menginap di rumah Penjahit Jung. Tentu saja pasangan Jung itu terbuka menerimanya. Apalagi Nyonya Jung yang sudah sangat merindukan Selir Han. Tapi tentu saja perjalanan keluar istana ini tidak hanya Selir Han, dirinya dan Jungeun saja. Raja juga melakukan hal yang sama. Ia ikut bersama mereka bertiga ditemani Kasim Choi, Pengawal Heo dan beberapa pengawal lainnya.

Terkadang Dayang Bong berpikir, sesulit itukah Raja berpisah dengan Selir Han, meski hanya sehari saja? Padahal Selir Han hanya berkunjung ke rumah Penjahit Jung, bukan keluar Hanyang atau keluar provinsi.

Saat Dayang Bong sedang fokus berpikir, dari arah dapur sudah ada kepulan asap yang membumbung tinggi. Aroma masakan juga tercium kuat. Sepertinya Nyonya Jung sudah mulai memasak. Ia akan membantu meski tidak terlalu mahir.

"Samonim, maaf aku baru bangun. Ada yang bisa aku ban... MAMA!" Dayang Bong berteriak kaget saat melihat Selir Han yang ternyata sedang di dapur. Ia kira Nyonya Jung.

Selir Han yang tak kalah terkejut dengan teriakan Dayang Bong lantas menoleh. Pagi-pagi seperti ini tapi sudah ribut.

"Ada apa, Dayang Bong? Kenapa kau berteriak?" Selir Han menenangkan jantungnya yang hampir melompat. Kemudian, ia mengambil sebuah timun dan mulai memotongnya. Tangannya yang lihai sesekali mengaduk bubur yang sedang dimasak di tungku api.

"Mama, apa yang Anda lakukan? Seharusnya Anda tidak boleh seperti ini." Dayang Bong merampas pisau dan timun dari tangan Selir Han.

Selir Han yang masih bingung hanya mengernyitkan dahi. "Kenapa tidak boleh?"

Dayang Bong menghela napas. "Bagaimana jika Anda terluka? Bagaimana jika Jeonha melihatnya? Bagaimana.."

Selir Han tertawa pelan mendengar kekhawatiran dayangnya itu. "Kau takut aku kenapa-napa?"

"Tentu saja, Mama!"

"Jangan khawatir. Aku sudah terbiasa memasak. Dan lagi pula.." Selir Han mengambil kembali pisaunya dari tangan Dayang Bong. "Ini terlalu kecil. Aku bahkan sering memegang pedang."

"Yeee? Mama! Anda jangan mengada-ngada!" Dayang Bong mulai kesal. Sejujurnya ia benar-benar takut Selir Han terluka atau semacamnya. "Mana mungkin Anda sering memegang pedang. Kalau Anda mengaku sering memegang jarum jahit, saya baru percaya."

"Dia tidak berbohong." suara seseorang yang entah muncul dari mana cukup membuat Dayang Bong kaget.

"Jeo.. Jeonha!" Dayang Bong membulatkan matanya saat melihat Raja datang dari pintu dapur sambil membawa wadah cukup besar. Ia bertanya-tanya, apa yang dilakukan Raja dan Selir Han di dapur seperti ini? Pagi-pagi pula.

THE LAST FIGHT [COMPLETE] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang