43. Lelah

2.8K 67 2
                                    

Hawa dingin membekukan suasana terasa begitu kental. Ketakutan dan kecemasan sangat mendominasi perasaan dalam ruangan tersebut. Ayana meremas jarinya yang basah akan keringat. Sama sekali ia enggan mendongak menatap pria yang sedari tadi menatapnya datar.

Wajah Julian yang beberapa hari belakangan ini selalu hangat dan menyejukkan sekarang berganti wajah dingin sarat akan kemarahan yang terpendam. Ruang kerja pria itu seakan tempat penyiksaan bagi siapa saja. Mata abunya menyorot nyalang pada wanita di depannya.

Semua luka-luka dari pertarungan dengan musuh Julian tadi sudah diobati sebelumnya. Sekarang tinggal mereka berdua dalam ruang kerja tersebut. Menyelesaikan masalah pribadi antara Ayana dan Julian. Tidak ada yang dibiarkan masuk ke dalam ruangan bahkan Arallyn sekalipun meski wanita paruh baya itu mendesak ingin melihat keadaan anak dan menantunya.

"Apa kau sudah puas bersenang-senang semaumu, Ayana?"

Begitu perih sekali hati Ayana mendengar kalimat pertanyaan dari suaminya yang begitu sinis. Tapi Ayana sadar, ini memang salahnya sudah melanggar janji dengan keluar tanpa izin bahkan sampai merencanakan jebakan konyol untuk Julian yang pada akhirnya menjadi boomerang untuk Ayana sendiri.

"Apa peringatan yang aku berikan padamu tempo lalu kurang jelas? Apa telingamu tidak memasang baik?!!" Sarkas Julian bahkan sedikit membentak.

Ayana memejamkan matanya mendengar nada sarkas tersebut tanpa mau menjawab. Ia takut salah mengeluarkan kalimat.

"Mengapa pikiranmu begitu sempit sampai tidak bisa memprediksikan kedepannya?!!" Bentak Julian lagi tapi kali ini lebih keras.

Wanita itu menunduk menangis.

"Apa menjadi pembangkang adalah ciri khasmu?!!"

Untuk kali ini Ayana tersulut emosi juga mendengar bentakan Julian yang keras membahas sifatnya. Wanita itu bangkit berdiri balik menatap tajam Julian. Ayana menyeka kasar air matanya. "Ya!! Aku memang pembangkang!!! Aku tidak suka dikekang, aku tidak suka diatur!!! Kau puas?!!!" Pekik Ayana keras.

Mendapat respon Ayana, Julian tentu saja semakin tersulut. Wanita itu seakan menyiram bensin di atas kobaran api yang menyala. Matanya memerah tajam bukan main. "Kau sudah melakukan kesalahan tapi kau sama sekali tidak menyadarinya?!!"

"Aku sadar, aku salah. Itu benar. Tapi aku melakukannya karena alasan."

"Alasan apa yang lebih penting dari nyawa?!! Kau tidak sadar jika aku tidak datang tepat waktu mungkin kau sendiri yang akan mati."

Saat itu Ayana terdiam. Ia merasa kalah telak akan tuturan Julian. Memang benar, mungkin Ayana sekarang tinggal nama jika Julian tidak segera datang. Tapi ini menyangkut masa depannya, bahkan masa depan Julian juga dan keluarga ini.

"Kenapa kau menjebakku? Apa kau pikir aku sebodoh itu?! KENAPA KAU PERGI DIAM-DIAM?!!!" Julian tidak bisa menahan amarahnya. Pria itu sampai menggebrak meja kerja di depannya. Matanya menyorot tuntut wanita itu.

"KARENA AKU INGIN MENCARI BUKTI KALAU BUKAN AYAHKU YANG MELAKUKAN PEMBANTAIAN ITU, JULIANNN!!!" Pekik Ayana sambil menangis frustasi. Wanita itu ikut emosi akan kemarahan Julian.

"Aku ingin kau juga menerima keluargaku, bukan hanya aku saja. Aku tidak mau dendam ini terus berlanjut yang nantinya membuat kita semakin terpecah belah. Aku ingin meluruskan kesalahpahaman ini." Ayana menangis terisak-isak.

"Sampai kapan kau akan memupuk dendam pada orang yang tidak bersalah, sampai kapan?!!!" Wajah Ayana benar-benar kacau. Ia tidak ingin suami dan ayahnya terus menerus berada dalam lingkaran dendam yang bukan mereka sendiri yang buat.

"AKU TIDAK PEDULI MASALAH DENDAM ITU, AYANA!!! YANG MEMBUATKU MARAH KENAPA KAU BISA-BISANYA MERENCANAKAN HAL LICIK INI?! KENAPA KAU MELANGGAR JANJIMU?!! APA KAU SUDAH BOSAN HIDUP?!" Balas Julian berteriak. Dadanya naik turun akibat luapan amarah.

Jebakan Sang Mafia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang