Satu bulan kemudian.
Setelah undangan Marvell mengenai acara pertunangan Jessica dan Damian waktu itu, mereka kembali pulang ke Amerika Serikat. Ayana dan Julian juga kembali ke Milan melanjutkan hidup mereka yang penuh lika-liku akan Ayana yang beberapa minggu belakangan ini selalu merajuk tanpa sebab.
Entahlah, wanita itu benar-benar lain dari biasanya. Ayana begitu manja, tidak mau ditinggal sendiri dan selalu saja menempel pada Julian. Kalaupun sedang bekerja, pasti wanita itu akan menemui Julian di kantor tidak kenal waktu. Apa Julian kesal? Tentu tidak. Justru pria itu malah dengan sabar meladeni istrinya itu.
Huek!
Huek!
Suara dari kamar mandi menyentak Julian dari tidurnya. Dalam gerakan spontan ia langsung terperanjat bangkit menyingkirkan selimut yang sebelumnya menutupi tubuhnya. Pria itu memakai lebih dulu boxer hitamnya sebelum melangkah cepat menuju kamar mandi sambil bertelanjang dada.
"Ana, kau baik-baik saja?"
Dengan tampang khawatir Julian merangkul bahu Ayana yang seperti habis muntah. Dapat ia lihat wajah wanita itu begitu pucat seolah tidak dialiri darah.
Ayana membasuh muka dan mulutnya. Wanita itu mengernyit merasakan pahit di tenggorokannya sehabis memuntahkan cairan bening. Kepalanya pusing, tubuhnya lemas bukan main. Ia hanya bisa menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya itu.
"Aku pusing," katanya lemah.
Mendengar itu, Julian pun sedikit merendahkan badan memposisikan diri membopong wanita itu keluar dari kamar mandi. Dengan penuh kelembutan, Julian membaringkan Ayana di atas kasur lalu menarik selimut menutupi sebagian badannya.
"Tunggu sebentar, aku akan mengambil minum untukmu." Julian berlalu pergi.
Selagi menunggu Julian, Ayana hanya bisa memejamkan matanya mencoba menetralisir rasa pusing dan mualnya. Keadaan seperti ini, mengingatkan dirinya pada dulu saat hamil anak pertama namun Ayana tidak menyadarinya waktu itu.
Tunggu, hamil?
Ayana membuka matanya saat itu juga. Dengan cepat Ayana merampas kalender kecil di atas nakas samping lampu melihat tanggal berapa sekarang apa haidnya telat atau tidak. Ternyata ... telat hampir satu bulan. Mengapa Ayana tidak menyadarinya? Bibir wanita itu berkedut menahan senyum, apa jangan-jangan?
"Ana, minumlah dulu."
Seruan Julian yang menyodorkan minum menyentak Ayana dari lamunan dugaannya. Dengan gerakan pelan Ayana menerimanya lalu meminum air putih hangat itu.
"Makanlah juga sarapannya. Aku akan menyuapimu," Setelah melihat istrinya itu selesai minum, Julian menyodorkan sendok berisikan pasta pada Ayana.
Ayana pun menerimanya dengan senang hati. Sepanjang Julian menyuapi, Ayana benar-benar mati-matian menahan senyum menatap wajah Julian. Sungguh ia benar-benar berharap dugaannya tadi itu benar. Entah akan seperti apa reaksi Julian kalau memang benar iya.
"Kau tidak bersiap ke kantor?" Ayana berdehem pelan berbasa-basi.
Julian menggeleng.
"Kenapa? Bukankah hari ini kau bilang ada meeting penting?"
Semalam Julian sibuk mengerjakan pekerjaannya bahkan membuat Julian sampai bergadang. Meski sudah diberitahu alasannya adalah karena ada meeting penting untuk hari ini, tapi Ayana tetap masih kesal. Julian selalu bergadang karena bekerja.
Tapi bukan Ayana namanya kalau tidak bisa mengalihkan perhatian Julian dari pekerjaannya meski ujung-ujungnya berakhir di bawah gelungan selimut.
"Kau lebih utama dibandingkan pekerjaan." Jawab Julian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jebakan Sang Mafia [Completed]
Romance[JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK YA, JANGAN JADI SILENT READERS, PLEASE] PELAGIAT MENJAUH SANAA!!! *** Apa jadinya jika kau dijebak menikah oleh seorang mafia kejam hanya untuk dijadikan pelampiasan balas dendam? "Aku tidak peduli masalah dendammu, kar...