Beberapa bulan berlalu.
Ayana kini mulai terbiasa dengan suasana di Italia, bahkan perlahan Ayana mulai bisa bahasa Italia meski masih kaku dan kadang dicampur dengan bahasa Inggris.
Sikap dingin dan datar Julian masih saja sama pada Ayana, tidak pernah ada senyum apalagi sapaan atau hal yang lainnya. Mungkin kalau ada perlunya saja pria itu berkata. Lain hal dengan Ayana yang berbicara banyak namun selalu dianggap angin lalu. Meski sekarang Julian tidak lagi melakukan kekerasan seperti dulu.
Keadaan Arallyn pun kini perlahan sudah mulai membaik semenjak Ayana sering menjenguk wanita itu dan sesekali melakukan candaan yang membuat wanita itu tertawa bahagia. Arallyn sudah diperbolehkan pulang ke rumah, meski tetap harus dikontrol setiap satu minggu sekali ke rumah sakit.
Ayana pun kini sudah pindah ke kamar yang lebih layak dihuni yang berada di samping kamar ibu mertuanya. Tentu itu atas perintah Arallyn yang tidak tega mengetahui bahwa selama ini Ayana tidur di kamar sempit itu. Julian kalau sudah mendapat perintah ibunya tentu saja tidak bisa membantah.
Sekarang Ayana duduk di pinggir tempat tidur. Pikirannya melayang tentang konspirasi yang masih belum terpecahkan. Meski sudah lama curiga, tetapi sejak itu pula kecurigaannya itu tidak membuahkan hasil karena tidak ada lagi gerak-gerik yang mencurigakan di sana. Atau sebenarnya para musuh Julian sedang membuat rencana besar?
Tok! Tok!
"Ana! Boleh Mommy masuk?"
"Masuklah, Mom."
Ayana tersenyum menyambut kedatangan ibu mertuanya yang terlihat membawa sepiring pancake untuknya. Arallyn ikut tersenyum lalu mendekati menantunya itu dan duduk di samping Ayana. Wanita itu memeluk Ayana singkat dan mencium kening gadis itu penuh kasih sayang.
"Kau mau pancake?"
"Seharusnya Mommy tidak perlu repot-repot. Aku bisa membawanya kemari kalau aku mau." Ujar Ayana merasa tidak enak hati pada mertuanya itu.
"Tidak apa-apa, Mommy senang memanjakan anak Mommy."
"Tapi kan Mommy baru sembuh."
"Tidak apa-apa, Nak."
Ayana pasrah dengan jawaban ibu mertuanya. Lagi pula sebenarnya ia juga lapar karena belum makan. Ayana memakan pancake yang dibawa Arallyn dengan khidmat.
Selama ini Julian memperlakukannya layaknya budak yang tidak perlu dikasihani ataupun diperdulikan. Tetapi semenjak ibu mertuanya itu pulang, Ayana tidak perlu lagi merasakan siksaan itu. Ia sekarang tidak lagi membersihkan rumah di pagi hari ataupun melakukan pekerjaan lainnya.
"Terimakasih, Mom."
"Sama-sama."
Setelah menghabiskan makanannya, gadis itu mengelap bibirnya yang kotor. Dalam benaknya ada niatan ingin memberitahu apa yang ia curigakan pada mertuanya. Tetapi juga Ayana ragu melakukan itu karena takut ibu mertuanya itu tidak mempercayainya.
"Ada apa? Ada yang mau kau bicarakan dengan Mommy?" Tanya Arallyn kala menyadari arti tatapan Ayana.
Ayana tersenyum kaku. "Ah, tidak, Mom."
"Baiklah kalau begitu, Mommy akan membawa piring kotor itu ke bawah."
"Tidak, Mom." Cegah Ayana. "Biar aku saja. Mommy lebih baik istirahat di kamar."
Arallyn tersenyum. "Baiklah, Mommy duluan ke kamar."
Ayana mengangguk sambil tersenyum. Ia menatap sampai ibu mertuanya benar-benar pergi. Kemudian gadis itu juga berdiri sambil membawa piring kotornya. Ia melangkah ke dapur dan menyimpan piring itu di wastafel. Ayana kembali berbalik berniat akan kembali ke lantai atas menuju kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jebakan Sang Mafia [Completed]
Romance[JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK YA, JANGAN JADI SILENT READERS, PLEASE] PELAGIAT MENJAUH SANAA!!! *** Apa jadinya jika kau dijebak menikah oleh seorang mafia kejam hanya untuk dijadikan pelampiasan balas dendam? "Aku tidak peduli masalah dendammu, kar...