69. Restu

2.6K 65 3
                                    

Ceklek!

Pintu terbuka.

Seketika saja Amara dan yang lainnya langsung berdiri menatap Julian dengan tatapan lekat ingin tahu bagaimana Ayana setelah sekian lama pria itu di dalam. Amara khawatir, tadi ia sempat ingin menerobos masuk ke ruang rawat Ayana ketika mendengar isakan tangis dari putrinya itu. Namun niatnya urung ketika melihat dari kaca Ayana menangis dalam pelukan Julian.

"Julian, bagaimana Ayana?" Tanya Amara cepat.

Sebelum menjawab pertanyaan Amara, Julian mendudukkan dulu dirinya di salah satu kursi penunggu depan ruang rawat. Wajah lelah terlihat kontras dengan tatapan sayunya.

"Ana sudah mau makan, Aunty. Dia baik-baik saja, sekarang dia tertidur." Jawab Julian.

"Lalu kenapa dia tadi menangis? Kau tidak menyakitinya bukan?" Timpal Jericho membuka suara juga dengan wajah khawatir dan penasarannya.

Lirikan sinis Julian berikan mendengar pertanyaan Jericho.

Sorot matanya mendingin menatap pria itu dari ujung kepala hingga kaki. Dapat Julian lihat dengan jelas, sisa-sisa memar di wajah pria itu masih nampak, bahkan sudut mata kanannya membiru, sebelah tangannya diperban karena patah. Bukannya merasa bersalah, Julian malah tersenyum miring merasa luka itu masih kurang dengan penderitaan istrinya.

"Pertanyaanmu lucu sekali, Jericho Alderick. Kau menuduhku menyakiti Ana?" Julian terkekeh sarkas. "Sepertinya kau butuh cermin untuk menjawab pertanyaanmu itu,"

Jericho membeku saat itu juga.

"Tapi sungguh Ana sudah mau makan?" Thomas menghiraukan perang dingin antara Julian dan Jericho. Pria itu lebih ingin tahu keadaan Ayana.

Julian mengangguk singkat. Berinteraksi dengan Thomas jelas berbeda dengan Jericho. Julian masih ada rasa segan, malu, dan tidak enak dibalik kemarahannya pada ayah mertuanya itu mengingat masalah kesalahpahaman sebelumnya. Ia masih punya sedikit etika berlaku sopan di hadapan Thomas, berbeda dengan Jericho.

"Dia mau berbicara denganmu, Julian?" Tanya Amara tiba-tiba.

Julian mengangguk mengiyakan.

Sorot mata Amara tiba-tiba berlapis cairan bening kembali yang perlahan mulai berjatuhan. "Apa dia marah padaku juga? Ay tadi sama sekali tidak mau bicara denganku dan hanya merespon gelengan kepala saja. Apa dia juga kecewa padaku?" Lirih Amara sedih.

"Ana hanya masih sedih dan kecewa, bukan marah pada Aunty," seru Julian menenangkan.

"Tapi dia ..."

"Aunty Amara," sela Julian. "Kau ibunya, kau adalah orang yang paling disayanginya. Tidak mungkin Ana marah padamu." Sahutnya lagi menenangkan kali ini dengan nada lebih lembut.

Perlakuan Julian yang begitu menghormati Amara sebagai ibu dari Ayana menyita perhatian Thomas menatapnya. Bibirnya secara spontan mengukir senyum tipis menatap Julian dan istrinya itu. Sekarang ia sadar, tidak ada celah untuk melarang hubungan Ayana dan Julian.

Thomas benar-benar pasrah, ia percaya Julian bisa menjaga Ayana sekarang setelah semua yang ia lihat dan perjuangan Julian yang tidak kenal menyerah bahkan tidak peduli melawan siapapun hanya karena Ayana terluka meski mereka keluarga wanita itu sendiri.

Julian memang putramu, Leo. Kau berhasil mendidiknya menjadi seorang pria bertanggungjawab. Baik sebagai putra, menantu, maupun suami untuk istrinya.

"AKHH!!! LASCIATEMI ANDARE!! CRIMINALI! ASSASSINI!!!" (Lepaskan aku, kalian penjahat! Kalian pembunuh!).

Atensi semua orang yang ada di depan ruang rawat Ayana teralihkan karena teriakan seorang gadis remaja yang berjarak beberapa meter dari sana.

Jebakan Sang Mafia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang