Sejak Ayana dan Julian berdebat bertengkar kala itu, sepasang suami istri itu saling asing. Hubungan yang sebelumnya sudah mulai menghangat kembali mendingin bahkan dari keduanya. Sama sekali tidak ada yang mau memulai dari awal. Baik Ayana maupun Julian sama-sama memiliki ego tinggi.
Seperti di meja makan ini contohnya. Sudah tiga hari sejak kejadian hari itu, selama itu pula Ayana dan Julian tidak bertegur sapa. Bahkan setiap kali terjadi kontak mata mereka sama-sama memalingkan muka acuh tak acuh. Seakan enggan saling menatap satu sama lain.
Dalam keheningan Ayana memakan sarapannya. Hanya menunduk diam tanpa bersuara, lain dari biasanya. Sikap Ayana benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Bahkan tidak jarang, Ayana sering terlihat murung dan diam-diam menangis.
"Ana,"
Ayana tersentak mengangkat wajah ketika ibu mertuanya memanggil dirinya. "Ya, Mom?" Sahut Ayana pelan seperti orang sakit tapi tetap menorehkan senyum tipis.
"Kau sakit? Wajahmu pucat."
Mendengar itu, atensi Julian juga teralihkan menatap Ayana. Dapat Julian lihat jelas, wanita itu memang terlihat pucat. Ada rasa bersalah yang Julian rasakan karena memarahi Ayana waktu itu. Namun egonya masih terlalu tinggi.
Ayana menggeleng pelan. Memang, belakangan ini Ayana selalu merasa mual, muntah, pusing, dan sering sekali keram di perutnya. Namun, ia merasa ini sakit biasa yang nantinya akan sembuh. Meski terkadang Ayana tidak tertahan bahkan sampai menangis merasakan perutnya yang melilit.
"Hanya pusing biasa, Mommy. Tidak apa-apa."
"Sungguh?" Arallyn tidak percaya.
"Sungguh, Mommy. Aku baik-baik saja." Jawab Ayana sekali lagi dengan senyum lembutnya.
Tangan kiri wanita itu terangkat ingin mengambil air minum, namun tiba-tiba tertahan di atas udara ketika bekas luka tembak di bahunya kembali kambuh sakit. Hingga Ayana pun meringis pelan tanpa sadar dan menurunkan kembali tangannya. Belum lagi perutnya yang kembali keram sakit.
Tanpa berkata apa-apa, Julian yang sedari tadi memerhatikan pun peka dan langsung menuangkan air ke dalam gelas dan menyodorkannya perlahan pada wanita itu tanpa mau menatap matanya.
Sejenak Ayana terpaku menatap gelas yang Julian sodorkan. Ingin sekali ia menangis keras mendapat perhatian kecil pria itu. Tapi ia juga sakit hati jika mengingat malam dimana Julian memarahinya habis-habisan. Pada akhirnya Ayana pun mengambilnya dan meminumnya perlahan dengan tangan satunya lagi yang tidak sakit.
Disela minum, Ayana mengernyit hebat ketika sakit melilit di perutnya itu kembali menyerang bahkan ribuan kali lipat sakitnya dibanding hari-hari sebelumnya. Ayana reflek menyimpan keras gelas di atas meja dan beralihlah memegangi perutnya yang keram. Pusing di kepalanya semakin terasa disertai rasa mual yang luar biasa.
Tanpa mengucapkan apa-apa, Ayana bangkit menggeser kursi kasar dan berlari menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur tanpa melepas tangannya dari perut dan menutup mulutnya dengan tangan lainnya. Wajahnya semakin memucat seperti tidak dialiri darah.
Di atas wastafel, Ayana memuntahkan cairan bening dari dalam perutnya disertai rasa pahit di lidahnya. Keningnya mengerut, ia membasuh mulut dan wajahnya. Tubuhnya lemas, rasa sakit di perutnya semakin terasa mengoyak bak ditusuk pisau membuat wanita itu hanya bisa menangis menyender ke dinding tembok.
Pandangan mata Ayana mulai kabur, kakinya lemas mulai tidak sanggup menopang tubuhnya sendiri. Ayana hampir terhuyung jatuh, namun sebuah dekapan berhasil menangkap dirinya ke dalam pelukan itu. Julian.
"Ayana kau baik-baik saja?"
Julian datang menyusul Ayana diikuti Arallyn dengan wajah cemas mereka.
"Julian ... Sakit ... A-aku t-tidak kuat." Lirih Ayana pelan sebelum akhirnya kesadarannya terenggut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jebakan Sang Mafia [Completed]
Romance[JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK YA, JANGAN JADI SILENT READERS, PLEASE] PELAGIAT MENJAUH SANAA!!! *** Apa jadinya jika kau dijebak menikah oleh seorang mafia kejam hanya untuk dijadikan pelampiasan balas dendam? "Aku tidak peduli masalah dendammu, kar...