"Kak Ana, apa Kakak tidak pernah memotong rambut? Mengapa bisa sepanjang pinggang seperti ini? Aku suka sekali rambut panjang."
Ayana sedang duduk di atas karpet bulu menyandar ke sofa di ruang keluarga menonton televisi berlayar lebar di depannya. Bukan hanya Ayana dan Selena, tapi Julian, Matteo dan Arallyn juga berkumpul di sana. Julian duduk di kursi sebelah kanan bersama Matteo. Kedua pria itu tampak sibuk berbincang masalah pekerjaan dengan laptopnya.
Hari ini hari libur, wajar jika berkumpul. Bukannya fokus nonton televisi, Ayana malah mendongak menatap Selena yang duduk di sofa belakanganya yang kini sedang memainkan rambutnya bahkan sampai mengepangnya.
"Dulu saat masih SMP kelas satu, Kakak pernah dipotong rambut secara paksa oleh Mama Kakak sebagai hukuman karena Kakak nakal bawa motor sampai ditilang polisi ketika berumur dua belas tahun. Hanya saja setelah itu, Kakak marah tidak mau pulang berhari-hari." Kekeh Ayana menceritakan masa mudanya.
"Dua belas tahun Kakak sudah bisa mengendarai motor? Ya ampun Kakak!" Selena terkejut tidak habis pikir. "Apa Mama Kakak tidak marah?"
"Tentu saja marah. Mama Kakak bahkan menyeramkan ketika marah, Selly. Hanya saja emang kakaknya yang pembangkang. Kakak paling tidak suka diatur," tutur Ayana.
"Ah, aku jadi ingin mendengar bagaimana kehidupan Kakak bersama keluarga Kakak."
Ayana tersenyum mendengar ucapan Selena. Wanita itu menyandar dan matanya mulai menerawang ke masa lalu dimana ia masih hidup dalam kebebasan di Jakarta, tempat kelahiran ibunya sekaligus saksi dimana Ayana tumbuh besar.
"Dulu kehidupan Kakak di Indonesia itu seru. Kakak punya banyak teman, tapi yang paling dekat adalah sahabat Kakak, Shopia dan Ezra. Mereka sahabat Kakak yang selalu ada disaat suka maupun duka. Kehidupan Kakak di sana juga cukup menyenangkan. Kakak mendapatkan apa yang Kakak mau, mulai dari kebebasan, harta, dan kesenangan." Ayana mulai bercerita.
"Kau tinggal di Indonesia, Ana? Tidak di Belanda bersama ayahmu?" Arallyn tiba-tiba ikut menimpali obrolan Ayana dan Selena.
Ayana tersenyum tipis menggeleng pelan. "Sejak umur lima tahun aku sudah di Indonesia, Mom." Jawab Ayana tidak menjelaskan secara rinci. Tidak mungkin pula ia mengatakan kalau ia bersama ibu dan adiknya pernah diusir.
"Benarkah? Pantas saja Thomas dulu setiap kali berkunjung ke sini tidak pernah membawa istri dan anak perempuannya yang lain, hanya Jericho saja yang ia ajak." Sahut Arallyn.
"Daddy sering ke sini?" Tanya Ayana hati-hati secara pelan takut Julian mendengar.
Bukan karena apa, Ayana masih ingat janjinya pada Julian untuk jangan membahas apapun tentang ayahnya, tapi sahutan ibu mertuanya membuat Ayana tidak tahan ingin tahu. Jika dulu ayah dan kakaknya sering kesini, itu artinya hubungan sebelum kesalahpahaman itu begitu dekat.
"Tidak sering juga, hanya sesekali. Mommy hanya tahu dia adalah rekan ayah mertuamu, Leo, semasa masih muda," jawab Arallyn.
Ayana mengangguk mengerti tidak bertanya lebih lanjut lagi tentang hubungan ayahnya dan ayah mertuanya dulu. Namun entah mengapa Ayana jadi tertarik ingin mengenal seperti apa ayah mertuanya. Apalagi ketika mengingat cerita Julian malam itu tentang masa kecilnya yang penuh didikan keras dari ayahnya.
"Seperti apa Daddy Leo, Mom?" Ayana mendongak menatap mertuanya dari bawah.
"Daddy itu sangat sangat baik Kak Ana. Dia itu lebih sayang padaku dibandingkan dengan Kak Julian dan Kak Matt. Kalau aku menangis pasti yang disalahkan adalah Kak Julian, hahaha." Selena yang menjawab pertanyaan Ayana dengan tawa bahagianya mengingat sang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jebakan Sang Mafia [Completed]
Romantizm[JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK YA, JANGAN JADI SILENT READERS, PLEASE] PELAGIAT MENJAUH SANAA!!! *** Apa jadinya jika kau dijebak menikah oleh seorang mafia kejam hanya untuk dijadikan pelampiasan balas dendam? "Aku tidak peduli masalah dendammu, kar...