81. Milan

2.1K 51 4
                                    

"Selly, kau benar-benar tidak mau ikut Kakak?"

Pertanyaan itu adalah kesekian kalinya Julian lontarkan untuk Selena, namun gadis itu masih teguh pada pendiriannya. Benar saja, Selena memang benar-benar sudah nyaman di sini, gadis itu tidak mau diajak pulang ke Milan.

Pagi ini Ayana dan Julian sudah berada di ruang keluarga. Mereka sudah mengutarakan maksud mereka yang akan kembali ke Milan malam ini. Sontak saja mereka semua yang ada di sana terkejut, namun setelah mendengar penjelasan Julian akhirnya mereka mengerti juga.

"Aku sudah bilang aku ingin di sini dulu. Aku pasti kembali kesana bersama Kakak dan Kak Ana. Tapi untuk sekarang aku masih ingin bersama Mama," lugas Selena pelan.

"Tapi--"

"Sudah cukup, Julian." Lerai Amara yang sedari tadi memperhatikan. Wanita itu mendekat merangkul Selena penuh kasih sayang. Amara benar-benar menganggap Selena seperti putri kandungnya sendiri.

"Kau sudah mau membawa salah satu putriku tapi jangan bawa juga putriku yang lainnya." Amara mengecup singkat kening Selena kemudian memeluknya erat.

Julian terkekeh pelan mendengar itu. Benar juga apa yang mertuanya bilang, ia akan membawa putri wanita paruh baya itu yang tidak lain adalah Ayana, istrinya sendiri. Lalu sekarang Julian juga ingin membujuk Selena adiknya yang sudah dianggap putri oleh mertuanya itu.

"Apakah benar-benar tidak bisa ditunda, Julian? Kita baru berkumpul bersama beberapa hari di sini." Seru Thomas tiba-tiba menimpali.

"Tidak bisa, Dad. Aku selalu mengundurnya dari minggu-minggu sebelumnya. Tapi sekarang aku tidak bisa mengundurnya lagi." Lugas Julian menjelaskan.

Bukan masalah mengutamakan pekerjaan, tapi yang menjadi masalah adalah kalau semakin Julian mengabaikan perusahaan sekarang, maka imbasnya bisa saja berakibat serius. Perusahaan pusat akan mengalami kerugian besar jika tidak ditangani cepat akibat ledakan tiga anak cabang perusahaan yang Matteo lakukan.

"Apa masalah perusahaan begitu serius?"

"Sekitar tiga perusahaan cabang diledakkan Matt. Itulah penyebab utamanya."

"Hanya tiga perusahaan cabang, tidak mungkin membuatmu jatuh miskin." Jenaka Thomas tiba-tiba terkekeh pelan seolah menganggap enteng.

Julian juga ikut terkekeh pelan, "Daddy benar, aku juga sebenarnya tidak terlalu memperdulikan kekayaan. Tapi walau bagaimanapun perusahaan adalah tanggungjawabku, peninggalan Daddy Leo. Kalau aku mengabaikan, sama saja aku melanggar sumpahku pada Daddy Leo."

Ucapan Julian terdengar biasa saja, namun dari kata 'sumpah' terdengar menyita perhatian. Karena kata itu biasa digunakan orang zaman dulu pada tuan mereka ketika membuat janji yang tidak boleh dilanggar. Tapi itulah kenyataannya, Julian memang memiliki sumpah pada ayahnya dari sejak umur lima tahun.

Hidupku dan ragaku, hanya akan mengabdi pada Daddy.

Aku tidak akan berbohong, aku tidak akan melanggar janji dan ucapan, dan aku tidak mengecewakan Daddy. Aku akan menjadi kebanggaan Daddy, aku akan menjadi yang terbaik di mata semua orang.

Pegang sumpahku di atas darah tanganku sendiri.

"Padahal Leo sudah tiada, tapi kau masih memegang teguh ucapanmu padanya."

Julian tersenyum kecut. "Daddy Leo selalu ada. Kedua orangtuaku selalu hidup di hatiku." Lirih Julian pelan.

Ayana di sampingnya langsung menggenggam tangan Julian seakan tahu suaminya itu sedang bersedih kembali teringat orangtuanya.

"Suami Ay kan pria sejati, gak pernah langgar ucapannya." Seru Ayana mengalihkan atensi dengan suara riangnya yang bangga.

"Iya, suami kamu emang pria sejati tapi sayang istrinya enggak." Celetuk Amara dengan nada ejeknya.

Jebakan Sang Mafia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang