78. Debat

2.2K 57 3
                                    

Ayana beberapa kali mengusap air matanya yang mengalir dan mengelap hidungnya yang berair. Bukan sedih ataupun terharu, melainkan karena bawang merah yang ia potong di atas talenan. Meski Ayana sudah mulai bisa memasak sekarang, tapi ia belum begitu terbiasa mengiris bawang.

"Aduh, paling males deh, ngiris bawang ini," gerutu Ayana mengusap air matanya kembali.

Saat ini Ayana sedang memasak membantu ibu dan kakak iparnya di dapur. Mereka berencana akan mengadakan barbeque nanti malam. Karena itulah mereka memasak dulu makanan pokok untuk semua orang di dapur. Sedangkan para suami, mereka ada di ruang tengah.

Eva terkekeh pelan. "Kamu diajarin siapa sih, Ay? Kok tiba-tiba jago masak?"

Bibir Ayana terkulum. "Dari suami Ay dong." Bangganya berseru senang seakan itu adalah hal yang patut diapresiasi.

Pupil mata Eva melebar. "Seriusan kamu, Ay? Emang Julian bisa masak?"

"Masa sih, Julian? Bukannya mertua kamu?" Amara juga ikut terkejut mendengar jawaban Ayana. Selama ini ia kira Ayana pandai memasak karena belajar sendiri atau diajari mertuanya di Milan.

Ayana menggeleng, "Bukan, Ma. Mommy Ara gak pernah ngajarin Ay masak. Mommy tuh cenderung manjain Ay banget. Gak pernah nyuruh Ay masak, beresin rumah, atau apalah sebagainya. Katanya di rumah gak kekurangan pembantu buat masak dan beresin rumah." Ayana tersenyum dengan mata menerawang menyorot rindu.

"Ay diajarin masak, beres rumah, segala macem yang berkaitan dengan pekerjaan ibu rumah tangga itu yang ngajarin Julian langsung." Senyum Ayana berubah salah tingkah.

Masih ingat jelas betapa sabarnya Julian dulu mengajari Ayana memasak meski beberapa kali ia membuat makanan gosong. Tapi pria itu sama sekali tidak menyalahkannya, justru malah balik memakan habis makanan gosong itu. Katanya makanan itu berharga, karena dibumbui dengan perjuangan keras orang yang membuatnya.

"Masa sih, Ay? Kebanyakan suami kan gak bisa. Kakak kamu aja cuma bisa masak nasi goreng sama telor dadar," kekeh Eva merasa lucu.

"Jangan bandingin Julian sama Kak Jer, mereka beda, Kak Eva," Ayana berseru tidak terima.

"Julian tuh mandiri, apa-apa dia lakuin sendiri, jarang banget nyuruh orang buat bantuin dia. Emang di rumah juga ada pelaya tapi Julian cuma sesekali aja nyuruh mereka secara pribadi, itupun kalau ada halangan karena ke kantor atau lembur kerja, sisanya dia lakuin sendiri."

"Tapi kalo sama Ay, Julian itu beda banget. Dia kadang nyuruh hal-hal kecil sama Ay kayak minta dipijitin dan dibikinin kopi. Dia juga sering nasehatin Ay harus gini, harus gitu tapi gak pernah maksa Ay juga buat ngelakuinnya kalo sekiranya Ay keberatan atau gak suka. Cara Julian ngajarin Ay tuh santai, makanya Ay suka dan lebih nurut sama Julian. Bisa dibilang, Julian tuh ngajarin Ay buat mandiri, tapi dia juga manjain Ay banget kalo sama dia."

"Julian itu definisi suami sempurna buat Ay. Udah mah tajir, ganteng, perhatian pula dan yang paling penting dia peka apa yang Ay mau. Suami modelan kayak Julian langka banget, beruntung banget Ay bisa naklukin tuh batu es." Ayana menangkup pipinya dengan senyum lebar di bibirnya. Matanya berbinar menceritakan bagaimana suaminya.

Tidak urung Amara dan Eva juga ikut tersenyum bahagia. Melihat senyum senang di wajah Ayana membuat mereka menyadari satu hal. Kebahagiaan Ayana memang terletak pada suaminya itu. Julian jauh lebih mengerti bagaimana Ayana jika dibandingkan dengan mereka yang notabenenya keluarga Ayana sendiri.

"Maaf, Nyonya, Non." Nuning tiba-tiba datang dari ruang tengah ke dapur menyela obrolan mereka.

"Kenapa, Bi?" Tanya Ayana.

"Itu ... anu, Non. Barusan téh kan saya bikinin kopi buat Tuan Jericho dan yang lainnya juga termasuk Tuan Julian. Tapi, Tuan Julian malah balikin kopinya dan minta dibikinin lagi tapi harus Nona Ayana yang bikin. Terus Tuan juga bilang, tolong bawain rokok sama pemantiknya." Lugas Nuning menyimpan cangkir kopi di atas pantry yang tadi ditolak Julian.

Jebakan Sang Mafia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang