47. Cerita

2.3K 51 0
                                    

Angin pagi hari menerpa wajah Ayana yang sedang duduk di atas bantal ayunan besi rotan sintetis di balkon kamar. Terasa sangat sejuk sekali, udara yang begitu ia rindukan kini kembali terhirup oleh hidungnya setelah berbulan-bulan meninggalkan negaranya ini. Wanita itu memejamkan matanya menikmati udara.

"Ay, makan dulu, nih. Mama udah buatin nasi goreng sama jus asem buat kamu."

Terlalu menghayati udara sejuk yang ia rindukan membuat Ayana sampai tidak menyadari kedatangan ibunya. Ayana membuka matanya dan menoleh ke arah ibunya yang kini duduk di sofa samping ayunan. Wanita itu menyodorkan sebuah piring pada Ayana.

Ayana menerimanya dengan pelan. Sejujurnya ia bingung ingin bersikap apa dengan ibunya. Pasalnya selama ia kembali ke rumah dan dimarahi habis-habisan waktu itu, wanita paruh baya yang biasanya akan banyak bicara itu berubah menjadi dingin saat itu juga dan sama sekali tidak mau bicara dengannya.

Baru kali ini wanita paruh itu menunjukkan perhatiannya secara terang-terangan di hadapannya. Bahkan sampai masuk ke dalam kamarnya tanpa izin seperti yang biasa ia lakukan saat masih berada di sini sebelum ke Milan.

"Em ... Mama udah gak marah sama Ay?" Tanya Ayana hati-hati sambil memasukkan sesendok nasi goreng ke mulutnya. Dalam hati Ayana takut kalau ibunya akan malah lebih marah akan pertanyaan tidak bermutu yang ia lontarkan.

"Kata siapa?" Dingin Amara.

Makanan yang hampir masuk ke dalam perut rasanya malah tertahan di tenggorokan. Napas Ayana tercekat mendengar nada dingin Amara. Susah payah ia menelan nasi goreng itu dibantu dengan air minum.

Kemudian setelahnya Ayana menyimpan kembali piring itu di atas meja dan menunduk sembari dengan wajah yang menampakkan penyesalan yang teramat sangat. "Maafin Ay, Ma. Ay udah bikin Mama kecewa--"

"Bukan cuma kecewa." Sambar Amara membuat Ayana bungkam saat itu juga. Wanita paruh baya itu berdiri sambil berkacak pinggang menatap Ayana marah. Ayana hanya bisa menunduk takut tidak berani menatap seolah seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri.

"Kamu tuh juga bikin Mama khawatir tahu. Kamu tahu gak, sih, kalo selama ini Mama selalu nangis mikirin kamu, hah?! Apa kamu udah makan atau belum. Apa kamu tidur dengan nyenyak atau enggak. Apa kamu pernah mikirin itu?! Nggak, kan?" Kelakar Amara diiringi air mata yang mengalir deras.

Memangnya ibu mana yang tidak akan tenang disaat anaknya sudah menjadi istri dalam waktu yang singkat? Dan yang lebih membuat Amara sakit hati adalah ternyata anaknya dijadikan istri hanya untuk balas dendam.

"Kirain waktu kamu nelpon saat itu beneran bahagia di sana sampe bikin semua yang di sini lega gak mikirin kamu lagi. Tapi apa buktinya sekarang?!!" Kelakar Amara lagi.

Ayana bangkit dari duduknya dengan wajah bersalah. "Ma--"

"Hanya karena cinta bodoh kamu itu, kamu membuat semua orang yang ada di sini khawatir!" Kelakar Amara kembali. "Mulai sekarang lupain Julian! Gak usah bahas dia lagi di sini!"

"Mama ..."

Ayana tidak dapat menahannya lagi, dipeluknya erat ibunya tanpa peduli kalau mungkin saja Amara akan mendorongnya. Tetapi justru yang Ayana dapatkan adalah sebaliknya, wanita paruh baya itu ikut memeluk putrinya erat sambil mengecup ujung kepala Ayana.

Jelas saja, tangis haru langsung memenuhi area balkon kamar Ayana. Ibu dan anak itu saling memeluk erat menunjukkan kasih sayang dan hubungan batin yang mengikat erat diantara keduanya.

Jebakan Sang Mafia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang