48. Mencoba

2.1K 51 0
                                    

Hari demi hari kembali berlalu hingga satu minggu kemudian. Sikap Ayana sekarang benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat dari sikap aslinya yang cerewet. Wanita itu menjadi agak pendiam dan tenang tampak semakin dewasa dari sebelumnya. Ia lebih banyak mengurung diri di kamar sendirian.

Bukan tanpa alasan Ayana tidak mau keluar kamar, ia enggan berbincang jika ujung-ujungnya pasti malah membahas tentang masalahnya dan Julian. Mereka tidak pernah berhenti menyuruh Ayana melupakan Julian. Apalagi Jericho, kakaknya itu bahkan kemarin reflek membentaknya ketika Ayana membantah kalau Julian hanya bisa menyakitinya padahal kenyataannya tidak.

Karena itulah Ayana malas. Ia tidak ingin membahas semua hal tentang Julian dulu, padahal mereka tahu betul Ayana masih terluka. Baginya masalahnya dengan Julian adalah hal yang pribadi tapi ayah dan kakaknya seakan terlalu ikut campur. Ibunya saja tidak terlalu mempermasalahkan lagi itu dan menganggap semuanya sudah berlalu.

Tok! Tok!

Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Ayana. Ia berdiri bangkit dari kasur menghampiri pintu.

"Kak Eva?"

Wanita itu terkejut ketika melihat ternyata yang mengetuk pintu kamarnya adalah kakak iparnya. Sebelumnya Ayana mengira kalau yang mengetuk pintu adalah ibunya yang membujuknya keluar untuk refreshing tetapi selalu ditolak halus oleh Ayana.

Eva tersenyum. Kurang lebih ia tahu bagaimana keadaan Ayana yang masih berada di tahap sakit hati. Oleh karena itu ia kesini ingin mengajak Ayana keluar rumah seperti permintaan ibu dan ayah mertuanya kepadanya saat tadi.

"Temenin kakak ke mall yuk, Ay! Kamu kan paling bisa kalo disuruh pilih-pilih baju yang bagus buat Leon." Ajak Eva dengan nada semangat.

Dengan sedikit tersenyum paksa, Ayana menolak. "Males kak. Lain kali aja, deh, Ay temenin." Sahut wanita itu.

Ekspresi wajah Eva menunjukkan wajah. "Ck, gak seru banget, sih kamu Ay. Ayolah!" Paksa Eva.

"Gak, deh kak."

"Ayo, Ay!"

"Tapi--"

"Ayo!"

"Ya udah."

***

Mall menjadi tujuan Eva dan Ayana kali ini. Kedua wanita yang hanya terpaut sekitar tiga tahun itu berkeliling mall yang besar mencari sesuatu yang mereka inginkan. Ralat, lebih tepatnya Eva yang menginginkan baju untuk anaknya.

Sesekali Eva menawari bahkan memberikan kartu kredit pada Ayana untuk berbelanja sepuas yang adik iparnya itu mau seperti yang sering Ayana lakukan dulu. Tetapi kini Ayana lain. Jika biasanya Ayana akan langsung menerimanya tanpa pikir panjang, maka kali ini Ayana hanya menolak halus dengan gelengan pelan.

Eva hanya bisa pasrah dan menghela napas panjang dengan sikap Ayana yang perlahan berubah. Jujur saja, ia pun merindukan Ayana yang dulu selalu ceria dan tertawa. Bahkan Eva juga sangat merindukan kejahilan adik iparnya ini yang terkadang membuat dirinya kesal bukan main.

Tetapi yang Eva lihat kali ini bukan lagi Ayana yang dulu, gadis itu banyak berubah. Mulai dari cara berpakaian yang mulai agak tertutup, cara bicaranya, dan yang paling kontras adalah sikapnya yang berubah jadi pendiam. Gurat wajah terluka dan sakit hati masih nampak jelas di wajahnya.

Usaha Eva yang ingin membuat Ayana ceria pun rasanya gagal total. Meski Ayana mengatakan kalau dirinya baik-baik saja, tetapi Eva tahu kalau hati adik iparnya itu sama sekali tidak bisa dibilang baik-baik saja.

"Menurut kamu yang ini cocok gak, sih?"

Ayana melihat baju anak balita yang direntangkan oleh Eva. Wanita itu mengusap pelan baju yang disodorkan oleh Eva. Bibirnya mengulas senyum tipis. Matanya menyorot sendu. Kalau saja ia tidak keguguran, mungkin hari ini ia juga akan memilih-milih baju untuk anaknya. Rasa sakit itu kembali menyeruak. Ayana mengerjapkan matanya yang basah.

Jebakan Sang Mafia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang