Di malam hari yang gelap. Dikala jam sudah menunjukkan pukul 11.35 p.m. di belatara kota Milan yang luas. Sebuah mobil melaju cepat karena kejaran beberapa mobil lainnya yang terlihat mengikuti mobil itu dari belakang. Sambil kejar-kejaran, sesekali terdengar suara tembakan yang memekakkan telinga.
Dor! Dor! Srett!
Mobil hitam yang dikendarai Julian di depan menghalau setiap tembakan musuh dari belakang dengan mudah. Ini bukanlah hal yang tabu untuknya, bahkan mungkin bisa dikatakan sudah menjadi kebiasaan rutinnya.
Mobil itu melesat cepat ke arah utara jalan yang tampak ramai dengan beberapa mobil lainnya. Tanpa menunggu lagi, Julian memanfaatkan situasi dengan menyalip diantara truk dan bus yang maju di sana hingga keberadaan mobilnya sulit dideteksi oleh musuh.
Senyum sinis terbit di bibir pria itu ketika para musuh yang tertinggal di belakang kehilangan jejaknya. Bukan takut menghadapi mereka, Julian hanya menyimpan tenaganya untuk segala kemungkinan yang mungkin akan terjadi setelah ini.
Tepat pukul 00.00 a.m. Julian sampai di pekarangan rumahnya yang terlihat sudah sepi. Pria itu keluar dari mobilnya dengan mata melihat ke arah sekitar dimana biasanya para penjaga masih bergantian menjaga rumah namun sekarang sama sekali tidak tersisa satu orangpun.
Suasana pada malam ini sungguh berbeda. Udara terasa mencekam akibat sunyi yang melanda. Tidak ada pembantu atau orang yang berkeliaran. Julian mulai waspada menatap tajam ke arah depan. Tanpa menunggu lagi ia mulai menapaki anak tangga depan teras rumah menuju pintu utama.
Satu langkah, dua langkah, tiga langkah.
Pria itu berhenti dipijakannya yang ketiga ketika melihat cairan kental di atas lantai teras depan pintu. Badannya ia turunkan dengan kaki yang sebelah ditekuk dan tangannya menyentuh cairan kental itu dan menciumnya. Cahaya yang tamaram membuat Julian tidak bisa menebak warna cairan itu.
Amis, anyir ... Darah.
Kedua matanya berkabut api amarah yang melanda menyadari kalau cairan merah itu ternyata darah. Tanpa bisa menahan amarahnya lagi, Julian bangkit berdiri dengan segenap kobaran api emosi yang siap meledak.
Brakkk! Brugh!
Pintu rumah yang tingginya mencapai tiga meter lebih itu tumbang saat itu juga dalam satu kali terjangan Julian. Suara dentuman runtuhnya pintu bahan kayu jati itu menciptakan suara bising yang keras memekakkan telinga yang mendengarnya.
Para mayat anak buah dan sebagian pelayan yang mati tergelatak di atas lantai berikut darah-darah yang seperti lautan bergelimang di atas lantai teras bawah. Itulah pemandangan pertama yang Julian tangkap oleh matanya ketika pintu yang ia terjang terbuka.
Kedua tangan Julian terkepal erat. Matanya memerah. Urat-urat lehernya menampak. Pria itu seperti harimau buas yang siap menerkam mangsanya.
"KELUAR KALIAN PENGKHIANAT!!! AKU SUDAH TAHU SEMUANYA!!!"
Dengan lantang Julian berteriak menyeruakkan amarah dalam dadanya. Napasnya memburu dengan dada naik turun menahan emosi. Kejadian belakangan ini benar-benar tidak bisa ditoleransi lagi. Matteo benar-benar sudah melampaui batas.
Prok! Prok!
Suara tepuk tangan dari arah tangga mengalihkan atensi Julian. Matteo menuruni tangga dengan begitu santainya dengan sebuah senyum licik yang tersemat di bibirnya. Tidak berselang lama, Darius juga ikut keluar dan melangkah di samping Matteo. Kedua pria itu kompak memasang wajah senangnya ketika mendapati wajah Julian yang memerah menahan amarah karena tindakan mereka.
"Oh, Julian adikku tersayang. Apa kau terkejut dengan semua ini? Aku sengaja ingin memberimu kejutan, Adik." Matteo menekan kata 'adik' jelas sekali pria itu mengejek statusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jebakan Sang Mafia [Completed]
Romance[JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK YA, JANGAN JADI SILENT READERS, PLEASE] PELAGIAT MENJAUH SANAA!!! *** Apa jadinya jika kau dijebak menikah oleh seorang mafia kejam hanya untuk dijadikan pelampiasan balas dendam? "Aku tidak peduli masalah dendammu, kar...