72. Emosi Ayana

2.9K 60 5
                                    

Satu minggu kemudian.

"Padahal tadi ada suster, mengapa kau merepotkan dirimu sendiri?"

Pertanyaan Ayana menghentikan aktivitas Julian. Pria itu menatap mata Ayana sejenak sebelum kembali mengelap tubuh Ayana dari leher hingga ke bawah dada. "Tubuh istriku terlalu berharga untuk disentuh orang lain."

Saat ini, Julian dengan telaten membantu mengelap tubuh Ayana dengan kain lap basah untuk membersihkan tubuh wanita itu yang belum bisa mandi karena akan mempengaruhi kesehatannya. Ayana tidak menolak ketika Julian bersikeras ingin dirinya yang melakukan itu.

Reflek bibir Ayana berkedut menahan senyum. "Suster itu wanita, apa salahnya?"

"Mau wanita ataupun pria, mereka sama saja harus memiliki batasan melihat sesuatu. Aku tahu apa yang dipikirkan pria ketika melihat yang sensitif, tapi aku tidak tahu apa yang dipikirkan wanita ketika melihat itu. Bisa saja lebih gila dari yang dipikirkan pria. Nafsu wanita itu berbeda-beda, sudah banyak kasus penghilangan nyawa hanya karena rasa iri pada orang yang dibunuh karena memiliki kesempurnaan fisik." Lugas Julian panjang lebar.

Mendengar itu, Ayana sempat termenung sejenak sebelum akhirnya ia terkekeh pelan. "Kau terlalu berlebihan, mana mungkin seorang suster seperti itu. Sekalipun iya, apa yang harus ia irikan denganku? Aku bahkan sudah sekurus dan sejelek ini." Sahut Ayana lemah.

Kali ini berganti, Julian yang termenung menatap istrinya. Memang, wanita itu benar-benar kurus dan sama sekali belum ada perubahan sejak hari pertama dirawat. Melihat itu, sungguh Julian semakin tersayat. Terlebih setelah Julian menjelaskan semua masalah di Milan, sedikit tidak lebihnya Ayana pasti terguncang ketika tahu itu.

"Kali saja suster itu lesbi," sahut Julian mengabaikan kesedihannya yang sempat terlintas dengan ucapan asalnya menimpali Ayana.

Sontak saja Ayana melebarkan tawanya mendengar celetukan Julian yang tidak ia kira. Tangannya bahkan sampai reflek memukul pelan lengan suaminya itu yang masih memegang handuk basah. "Mana mungkin suster itu lesbi, Julian! Kaunya saja mungkin yang cemburu aku dilihat orang lain." Ejek Ayana masih dengan tawa renyahnya.

Julian sendiri hanya terkekeh pelan sambil memperhatikan tawa lepas Ayana yang berderai tanpa beban yang selalu ia rindukan selama di Milan. Wajah ceria wanita itu kembali tampak setelah berminggu-minggu belakangan ini Ayana selalu menampakkan wajah sedih putus asanya.

Pria itu menyimpan handuk bekas lapnya ke dalam baskom lalu menyimpannya di atas nakas. Kemudian Julian mengambil piyama baru dan dengan hati-hati membantu memakaikannya pada Ayana. Selepas berpakaian, barulah Julian balik menatap Ayana dengan kedua tangan yang sudah masing-masing di sisi pinggang wanita itu seraya mencondongkan tubuhnya.

"Aku memang pencemburu, aku tidak sudi milikku bebas dilihat meski oleh wanita sekalipun." Bisik Julian tepat di telinga Ayana.

Mendapat bisikan itu tentu saja tubuh Ayana meremang. Tubuhnya yang memang masih agak panas karena sakit sekarang tambah panas pula. Bibir wanita berkedut menahan senyum. "Menyingkirlah ..." Seru Ayana lemah mendorong pelan bahu Julian agar menjauhinya. "Kau membuatku semakin sesak napas."

Reflek Julian terkekeh kecil, pria itu menjauh tanpa melepas pandangan mata teduhnya untuk Ayana. Tangannya terulur mengusap pipi Ayana lembut. Senyum lembutnya masih terpatri di bibir pria itu. "Tidurlah, kau masih pusing, bukan?"

Ayana mengangguk pelan. "Memang masih pusing, tapi aku tidak ingin tidur. Karena kalau ditidurkan pasti ketika bangunnya akan semakin sakit kepala." Sahutnya.

"Lalu apa bedanya dengan kau yang duduk bangun seperti ini disaat masih sakit kepala, hm?" tutur Julian lagi membujuk.

"Aku sudah nyaman duduk, kalau aku berbaring lagi aku akan berat untuk bangun. Bagaimana kalau aku ingin ke ruangan Selly tapi aku tidak bisa bangun gara-gara sakit kepalaku kambuh?"

Jebakan Sang Mafia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang